Jakarta, Technology-Indonesia.com – Serangkaian peristiwa penyerangan teroris yang terjadi baru-baru ini memunculkan kembali pertanyaan bagaimanakah cara memutus mata rantai terorisme di Indonesia. Selama ini telah terjadi perdebatan di ruang publik terkait motivasi dan kepentingan yang melatar belakangi aksi terorisme tersebut.
Sri Sunarti Purwaningsih, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan penyelesaian persoalan terorisme masih dilihat secara struktural yang memusatkan peran dari lembaga-lembaga negara. Hingga saat ini negara belum mengesahkan Undang-Undang Anti Terorisme dan melihat pola terorisme di Indonesia.
“Kita tidak boleh lupa pada persoalan deradikalisasi yang sudah ditanamkan pada masyarakat yang memiliki pandangan radikal,” ujar Sri dalam Diskusi Publik “Memutus Mata Rantai Terorisme, Mungkinkah?” pada Kamis (17/5/2018) di Jakarta.
Sri menjelaskan upaya pencegahan harus dilakukan agar pandangan dan ideologi yang mendasari terorisme tidak berkembang luas di masyarakat. Menurutnya, memutus mata rantai terorisme bergantung pada deradikalisasi. Upaya tersebut seharusnya tidak hanya ditujukan kepada individu tetapi juga kepada keluarga pelaku gerakan teroris.
Cahyo Pamungkas, Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR) LIPI mengatakan strategi deradikalisasi bisa diimplementasikan melalui berbagai pendekatan yakni psikologis dan sosial.
“Pendekatan positif bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan khusus kepada anak-anak pelaku teroris, memberdayakan perempuan bagi keluarga yang ditinggalkan kepala keluarganya karena tersangkut masalah terorisme, dan pemisahan tahanan teroris,” jelas Cahyo.
Cahyo menilai pencegahan berkembangnya ideologi terorisme pada tingkat keluarga adalah kunci utama untuk mencegah ideologi ini berkembang dengan cepat dimasyarakat luas. Sebab, gerakan gagasan atau ide radikalisme seringkali terjadi melalui keluarga teroris.
Menurutnya, penyelesaian hanya melalui pendekatan keamanan tentu tidak akan mampu memutus mata rantai terorisme yang telah menyebar luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. “Berkembangnya ideologi terorisme di masyarakat luas karena gerakan gagasan atau ide radikalisme seringkali terjadi melalui keluarga teroris,” lanjutnya.
Cahyo juga memaparkan gerakan terorisme dilakukan tidak hanya gerakan fisik tapi juga penyebaran ideologi kekerasan di media sosial. Meskipun upaya antisipasi dan counter terhadap narasi di media sosial telah dilakukan, tetapi masih dinilai kurang optimal.
Memutuskan mata rantai gerakan terorisme tidak hanya dilakukan dengan mematahkan narasi kekerasan agama atau menciptakan narasi tandingan, tetapi perlu identifikasi dan analisis mendalam pada proses produksi narasi tersebut.
“Akar utama terorisme adalah radikalisme dan akar radikalisme adalah intoleransi baik di dunia maya dan di dunia nyata. Jadi kita tidak dapat mengesampingkan fakta menguatnya intoleransi di Indonesia karena dikhawatirkan akan menjadi lahan subur gerakan terorisme,” ungkapnya.
Dalam diskusi publik tersebut, Ali Fauzi Manzi, mantan anggota teroris menyebut adanya radikaliasi di usia dini yang ditanamkan di tataran keluarga. “Terorisme saat ini mengincar keluarga karena memang jaringannya bisa lebih aman dan mudah dipengaruhi. Istri cenderung patuh dan mudah dipengaruhi oleh suami yang telah menganut paham terorisme,” ungkap Ali.
Menurut Ali Fauzi, terorisme bukan produk instan. Terorisme bukanlah produk keputusan single tetapi hasil proses yang panjang yang perlahan-lahan mendorong seseorang berkomitmen pada aksi kekerasan atas nama Tuhan.
Praktisi pencegahan radikalisme dan terorisme ini mengungkapan akar terorisme tidaklah tunggal bahkan saling berkaitan, karena itu penanganannya juga tidak bisa dilakukan dengan metode tunggal. “Ibarat penyakit, terorisme termasuk penyakit yang sudah mengalami komplikasi, butuh dokter spesialis dan kampanye pencegahan dari orang yang pernah mengalami,” lanjutnya.
Ali Fauzi menyayangkan masih adanya mindset atau pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa kejadian pengeboman di Indonesia hanya rekayasa. “Ini bukanlah rekayasa, pengalihan isu atau unsur politik ini murni terorisme yang mulai bergejolak di Indonesia. Ini murni dari orang yang mau negara kita tercerai berai. Kita harus waspada dengan pola pikir seperti ini,” pungkasnya.