Jakarta – Perubahan iklim menjadi faktor terbesar kerusakan terumbu karang di Indonesia saat ini. Sementara itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Oceanografi bergiat sosialisasikan Indeks Kesehatan Terumbu Karang khusus wilayah tropis.
“Kenaikan suhu air laut dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang walau hanya sekitar dua derajat celcius. Biasanya menyebabkan bleaching atau pemutihan karang,” ujar Dirhamsyah, Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI.
Pemantauan status dan kondisi terumbu karang dilakukan LIPI tiap tahun di sekitar 300 stasiun pemantau seluruh wilayah Indonesia. “Stasiun pemantau dipasang patok besi besi dan GPS dan tiap tahun didatangi untuk didata perkembangan kondisi terumbu karang serta spesies disana. Saat ini, kondisinya relatif stabil. Statusnya dibagi menjadi empat cluster, yaitu excellent, baik, moderat, dan jelek,” papar Dirhamsyah.
Selain faktor alam, lanjut dia, kerusakan terumbu karang disebabkan perbuatan manusia (antropogenik). Salah satu faktor yang menyebabkan kematian karang adalah eutrofikasi atau kelebihan nutrient dalam perairan yang utamanya disebabkan oleh banyaknya sampah-sampah organik maupun anorganik yang dibuang ke laut. “Lalu, ada pula cara berfikir masyarakat yang menempatkan laut sebagai tempat pembuangan sampah dan berbagai polusi dari aktivitas kita sehari-hari turut berkontribusi bagi kerusakan terumbu karang dunia,” sambungnya.
Hasil monitoring terumbu karang oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI melalui program COREMAP-CTI menunjukkan bahwa 68 persen terumbu karang Indonesia dalam kondisi cukup dan jelek (tutupan karang kurang dari 50 persen). Bahkan, hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa terjadi penurunan tutupan area terumbu karang di beberapa wilayah perairan Indonesia, seperti Banten, Jakarta, Jepara, dan Cilacap, yang masuk dalam kategori damaged atau rusak.
Disisi lain, LIPI juga bergiat mensosialisasikan Indeks Kesehatan Terumbu Karang negara iklim tropis. “Indeks kesehatan terumbu karang di Indonesia lebh spesifik sesuai iklim tropis. Tentu saja, indeks berbeda dengan negara-negara yang memiliki empat musim,” ujar Dirhamsyah yang juga menjabat national vocal point of Indonesia Sub Comitte on Marine Science and Techology (SCMST) ASEAN COST (Comitte on Science and Technology).
Jika negara-negara ASEAN setuju, lanjut dia, Indonesia bisa mendorong untuk sertifikasi Indeks Kesehatan Terumbu Karang khusus wilayah tropis.