Akselerasi Menuju Swasembada Kedelai

Dalam waktu tiga tahun, Pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen untuk mengejar target swasembada pangan. Khususnya untuk tiga komoditas: beras, jagung, dan kedelai. Swasembada pangan, menurut Wapres JK,  mendesak untuk diwujudkan demi meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, serta menjaga pertumbuhan ekonomi dan keamanan. Dalam rapat terbatas, Wapres secara khusus telah minta menteri-menteri terkait dalam Kabinet Kerja untuk bekerja dan berupaya keras untuk mengawal dan mewujudkannya.

Untuk mencapai swasenbada beras dan jagung, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyampaikan optimismenya. Untuk mencapai swasembada, Kementerian Pertanian menargetkan produksi 73 juta ton padi dan 20 juta ton jagung pada tahun 2015. Tetapi, untuk kedelai, Amran pesimistis pihaknya bisa mencapai swasembada dalam satu atau dua tahun. Menurut Mentan, swasembada kedelai memerlukan waktu lebih kurang tiga tahun.(Kompas, 15/12/2014).

Mengapa target swasembada kedelai sulit dicapai? Apakah ada celah terobosan yang bisa dilakukan untuk mengakselerasi peningakatan produksi kedelai sehingga swasembada bisa terwujud pada waktunya? Kalau ada, bagaimana bisa mewujudkannya? Tiga hal inilah yang akan diurai dalam paparan tulisan ini.

Kita mulai dari pertanyaan pertama. Mengapa swasembada kedelai sulit dicapai? Realitas sejarah menunjukkan bahwa tahun 1975,  Indonesia  mampu  berswasembada  kedelai  dengan nisbah produksi/konsumsi lebih besar dari 1,0 (Swastika et.al, 2000).  Namun setelah itu sampai tahun 1979 produksi kedelai menurun akibat luas areal yang terus menurun. Produksi kemudian kembali meningkat seiring bertambahnya luas tanam mulai 1984 hingga  puncaknya terjadi tahun 1992. Waktu itu, produksi kedelai mencapai hampir 1,9 juta ton dengan luas areal tanam 1,66 juta ha. Setelah itu, bersamaan dengan munculnya musim kemarau berkepanjangan (1994-1997) diperparah oleh kebijakan deregulasi impor kedelai (intervensi IMF yang melarang subsidi bahan pokok per 1998), produksi dan luas kedelai terus terus menurun tajam hingga tahun 2008 tinggal kurang dari 0,6 juta ha. Memang, ada peningkatan produktivitas kedelai dari tahun ke tahun. Tetapi, itu berjalan amat lambat, dari sekitar 1,1 t/ha (1990) menjadi hanya sekitar 1,3 t/ha (2008).
(suyamto dan I Nyoman Widiarta, Puslitbang Tanaman Pangan, 2009).

Berdasarkan data BPS yang diolah oleh Sudaryanto dan Swastika (2007), selama periode 1990-2000 terjadi penurunan luas panen kedelai rata-rata 4,69% per tahun. Penurunan lebih tajam terjadi lagi –sebesar 9,02% per tahun– pada kurun waktu 2000-2004. Sementara itu, produktivitas kedelai hanya meningkat rata-rata 1,7% per tahun selama tahun 1970-2004, bahkan selama tahun 1990-2004 hanya naik 1,01% per tahun.  Dari sisi produksi kedelai selama kurun waktu 1990-2000 turun sebesar 3,72% per tahun, dan bahkan turun lagi 4,51% per tahun pada periode  2000-2005.

Dari  analisis profil  perkembangan  produksi  dan produktivitas kedelai di Indonesia 1979-2014, kita dapat mengambil  pelajaran menarik. Pertama, peran inovasi teknologi terhadap peningkatan produktivitas kedelai di lapangan masih sangat kecil. Ini dikonfirmasi oleh riset Satriyas Ilyas (Faperta IPB, 2015) bahwa penggunaan benih kedelai bersertifikat masih minim. Dalam orasi berjudul Teknologi Peningkatan Mutu Benih untuk Meningkatkan Produksi dalam Rangka Mendukung Swasembada Pangan, Gurubesar Fakultas Pertanian IPB ini mengungkapkan pemakanan benih kedelai di Indonesia baru mencapai 27,94% dari kebutuhan pada tahun 2014 yang mencapai 22.485 ton.

Dari data itu, kita menangkap realitas bahwa lebih dari dua pertiga (72,06%) petani kedelai masih menggunakan benih biasa, yang mutu dan keunggulannya tidak dijamin. Artinya, ada celah cukup lebar bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk melakukan intervensi melalui penggunaan benih unggul bersertifikat. Varietas benih unggul lokal lokal –ini merupakan bagian dari jawaban atas pertanyaan kedua– sebenarnya tersedia banyak pilihan. Mereka ada di Balitbang Pertanian, BATAN, IPB, UGM dan perguruan tinggi lainnya.

Untuk mengakselerasi peningkatan produksi kedelai, peran inovasi teknologi  yang sesuai lokasi lokal penting dan vital. Dalam konteks ini, ada mitos yang perlu diluruskan. Selama ini, banyak  orang  berpendapat bahwa  kedelai  merupakan  tanaman  sub-tropis  sehingga kurang cocok diusahakan di daerah tropis. Pendapat ini tidak benar karena  varietas benih kedelai unggul lokal hasi rakitan para peneliti Indonesia tidak kalah dengan hasil kedelai subtropis  dari  Amerika  Serikat.  Analisis sepintas (Tabel  2)  menunjukkan  bahwa  rata-rata  potensi hasil  varietas unggul kedelai Indonesia lebih rendah daripada kedelai AS. Namun, karena umurnya lebih pendek, maka hasil/hari varietas Indonesia menjadi lebih tinggi.   Dengan  umur yang genjah seperti itu, petani Indonesia dapat menanam kedelai dua kali dalam setahun, sedang petani di AS umumnya hanya dapat menanam kedelai sekali dalam setahun.

Hingga saat ini. Kementerian Pertanian telah melepas sedikitnya 70 varietas unggul baru kedelai dengan berbagai keunggulan. Atas dasar luas adopsi  varietas tersebut dan peningkatan hasil akibat menggunakan varietas unggul tersebut, Suyamto dan Widiarta (2010) memperkirakan setiap tahunnya mampu memberikan kontribusi nilai tambah ekonomi sebesar lebih dari Rp 1,57 trilyun. Pada kurun waktu 2005-2009 telah dilepas tujuh varietas unggul kedelai baru dengan rata-rata potensi hasil 2,4 t/ha. Belum lama ini, telah pula dilepas enam varietas baru dengan potensi hasil lebih tinggi. Kaba, Sinabung, misalnya, punya potensi produktivitas 3,2-3,25 ton per ha. Dibanding rata-rata produktivitas kedelai  nasional  saat  ini  yang  hanya  1,5  ton/ha, jelas aneka varietas baru itu jauh lebih unggul dan menjanjikan.

Di luar itu, Puslitbang Tanaman Pangan Balitbang Pertanian kini sedang mengembangkan beberapa calon varietas unggul kedelai yang memiliki karakter khusus, antara lain: berumur genjah, biji sedang, toleran hama dan kekeringan, dan potensi hasil 3,48 ton/ha. Bila varietas terbaru ini dapat secepatnya diserap petani, maka peluang meningkatkan hasil produksi sampai berlipat dua bukan hal yang mustahil dapat dicapai dalam satu-dua tahun mendatang.

Untuk   memacu  peningkatan produksi yang maksimal  dan optimal – sekaligus mulai menjawab pertanyaan ketiga —   penggunaan   varietas benih  unggul   perlu   diikuti  dengan penerapan teknologi  budidaya dan produksi  yang tepat semisal teknik  pengelolaan  tanaman  terpadu (PTT) atau paket teknologi serupa lainnya. Prinsip utama penerapan PTT adalah partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis atau serasi dan dinamis. Konsep dan teknologi PTT kedelai ini telah diadopsi oleh Ditjen Tanaman Pangan Kementan untuk upaya peningkatan produksi kedelai melalui pendekatan sekolah lapang sehingga dikenal dengan SL-PTT.  (Ditjen Tanaman Pangan,  2009).

Terkait dengan penerapan inovasi teknologi, Satriyas dari Faperta IPB menawarkan teknik invigorasi. Invigorasi benih adalah teknologi yang memanfaatkan agen hayati sebagai bioprotektan, mikoriza atau mikroba lainnya sebagai biofertilizer yang secara umum disebut sebagai biological seed treatments. Bioprotektan dapat menggantikan peran pestisida sintesis dalam menekan serangan penyakit yang terbawa benih. Biofertilizer dapat mengurangi penggunaan pupuk sintesis. Selain itu, teknologi ini juga dapat menghemat biaya produksi sehingga lebih menguntungkan bagi petani.

Teknologi invigorasi plus bioprotektan, menurut Satriyas,  terbukti dapat mengendalikan patogen bawaan benih serta meningkatkan mutu benih dan produksi. Salah satu cendawan bawaan benih cabai adalah Colletotrichum capsici, penyebab antraknosa, penyakit terpenting pada cabai di Indonesia dapat menyebabkan kehilangan hasil sampai 60%. ‘’Perlakuan invigorasi pada benih cabai dengan agen hayati (biomatriconditioning) telah menurunkan kejadian penyakit antraknosa dari 81 persen menjadi 9 persen, meningkatkan produksi buah dan mutu benih hasil panen,” ujar Prof Satriyas saat konferensi pers pra-orasi di Ex Lounge Kampus IPB Baranangsiang. Bogor (11/5).

Untuk komoditas kedelai, lanjut Satriyas, perlakuan pelapisan benih dengan cendawan mikoriza arbuskula (CMA) yang diikuti pemupukan fosfat 100 kilogram SP-18 per hektar dapat meningkatkan asil produksi  1,5 kali lebih tinggi dibandingkan benih tanpa CMA. Perlakuan ini juga meningkatkan efisiensi pemupukan P sebesar 75 persen, atau menghemat 300 kilogram SP 18 per hektar.

Akhirnya — sekaligus bagian terpenting dari jawaban pertanyaan ketiga – mari kita bayangkan, jika penggunaan ketiga hasil inovasi –penggunaan benih unggul, invirogasi benih, dan PTT—bisa diterapkan secara luas, dalam skala nasional. Sentra-sentra pengembangan kedelai yang dahulu pernah berjaya perlu dibangkitkan kembali. Pada saat yang sama, sentra produksi kedelai perlu dirintis di kawasan baru yang prospektif seperti di Merauke, Pulau Buru, atau lahan tadah hujan dan pasang surut yang masih banyak tersebar di Sumatra dan Kalimantan.

Tetapi, potensi akselerasi peningkatan produksi  –melalui intensifikasi dan ektensifikasi– tersebut hanya akan dapat dicapai jika ada dukungan kebijakan yang memadai. Sejatinya, para petani menantikan adanya insentif kebijakan yang pro kesejahteran petani. Satu paket kebijakan  yang dapat membawa angin segar dan mampu membangkitkan gairah para pertani untuk kembali bersemangat menanam kedelai. Sudah lama, kita mendambakan hadirnya semangat seperti pada era ‘Emas Kedelai’ tahun 1975 atau 1992 dahulu itu.

Jika harga kedelai menarik –baca punya daya kompetitif minimal setara dengan usaha tani padi atau jagung—petani yang rasional, dengan sedikit sentuhan saja, akan bersemangat menanam kedelai. Dan, bila  gairah itu bisa kembali dibangkitkan dan direplikasi pada sentra-sentra kedelai pengembangan kedelai unggul di 10-16 provinsi utama hingga katakanlah mencakup areal tanam 1,5-2 juta ha, tentu kita dapat berharap adanya lompatan produksi kedelai yang luar biasa. Pada titik itulah, Indonesia insya Allah, akan kembali berswasembada kedelai. Semoga.  (Dedi Junaedi, redaktur Technology-indonesia.com dan majalah Gontor)

 

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author