Saat ini, sekitar 95 persen bahan bakuĀ obatĀ untuk kebutuhan industri farmasi Indonesia masih diimpor dari China (60%) dan India (30%). Padahal secara teknologi Indonesia sudah siap memproduksi bahan baku obat sendiri dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang melimpah.
Untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjalin kerjasama dengan PT. Kimia Farma Tbk dan Sungwun Pharmacopia. Kerjasama ini diharapkan mampu mengakselerasi kemandirian bahan baku obat di Indonesia.
Kepala BPPT, Unggul Priyanto mengatakan kerjasama tripartit ini Ā terkait pengembangan bahan baku obat antibiotik khususnya sefalosporin. Kerjasama ini sangat penting karena industri farmasi di Indonesia lebih dari 90% bahan bakunya masih impor.
āBPPT siap mendorong pengembangan industri antibiotik di Indonesia. Semoga kerjasama ini mendatangkan keuntungan bagi kita,ā kata Unggul saat penandatangan MoU antara BPPT, PT Kimia Farma dan Sungwun Pharmacopia di Gedung II BPPT, Jakarta, pada Senin (6/6/2016)
Dalam kesempatan tersebut, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri Dan Bioteknologi (TAB) BPPT, Eniya Listiani Dewi mengatakan konsep pemerintahan Joko Widodo yang memutuskan bahan baku obat merupakan target nasional merupakan kebijakan yang sangat penting. Saat ini, lanjut Eniya, Pemerintah Indonesia telah memberikan dukungan dan dorongan yang maksimal untuk menjadikan industri farmasi nasional sebagai andalan.
Menurut Eniya, pasar produk farmasi Indonesia pada tahun 2015 sebesar Rp. 60 Triliun dan diproyeksikan meningkat menjadi Rp. 102,05 Triliun pada 2020. Peluang yang besar akan kebutuhan produk farmasi tersebut tentunya harus diiringi dengan ketersediaan bahan baku obat yang berkualitas dan mandiri.
āUntuk menangkap peluang pasar yang besar tersebut, harus terus dilakukan inovasi yang memanfaatkan semua sumber daya berbasis kekayaan alam Indonesia yang terintegrasi dari hulu hingga hilir,ā ungkap Eniya.
Sebelumnya, BPPT sudah mengeluarkan Outlook Teknologi Kesehatan pada April 2016. āBPPT memprediksi bahan baku obat ini menjadi salah satu poin penting dimana raw material–nya harus diproduksi di Indonesia. Kita prediksikan hingga 2035 kebutuhan itu akan sangat tinggi,ā terang Eniya.
Menurut Eniya, kajian untuk memproduksi bahan baku obat khususnya antibiotika golongan beta laktam sesungguhnya telah dimulai oleh BPPT sejak tahun 1990an. Tetapi karena kurangnya dukungan dan tidak ada yang mengawal jadi seolah mati suri.
Untuk mengatasi kendala tersebut, BPPT melalui unit kerjanya di Balai Bioteknologi terus melakukan inovasi untuk menghasilkan teknologi produksi bahan baku obat yang efisien. Selain itu, BPPT juga berupaya menjalin kemitraan dengan semua stakeholder industri kesehatan.
āSekarang semua sudah melek kesehatan. Kita sangat tergantung pada bahan baku obat sehingga yang sudah ada di BPPT kita angkat lagi dan kita deliver ke Industri. Kerjasama ini merupakan salah satu upaya untuk mempercepat kemampuan BPPT untuk berinovasi,ā kata Eniya.
Sementara itu, Penasehat Ahli Deputi TAB, Wahono Sumaryono mengatakan sefalosporin dipilih karena kebutuhan pasarnya sangat tinggi, tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia. Saat ini produsen utamanya adalah China dan India.
āKami mengandeng Sungwun karena mereka punya teknologi yang dikembangkan sendiri. BPPT juga punya. Keduanya akan saling tukar informasi mencari mana yang terbaik yang secara biaya sangat kompetitif. Nanti, teknologi dari Sungwun dan BPPT kita evaluasi mana yang terbaik kemudian digunakan untuk produksi bersama,ā kata Wahono.
Wahono berharap, ke depan jika pabriknya sudah beroperasi akan memberikan kontribusi signifikan bagi pengurangan ketergantungan bahan baku dari impor. āKalau kita bisa memproduksi sendiri dari bahan baku lokal tentu akan memberi nilai tambah yang berarti bagi kebutuhan kebutuhan farmasi di Indonesia,ā kata Wahono.
Direktur Utama Kimia Farma, Rusdi Rosman mengatakan penentuan harga obat di masyarakat rata-rata 75-80% dari bahan baku. Jadi 20-25% untuk biaya marketing dan ongkos produksi. āBayangkan jika 75% ini kita gantungkan pada impor,ā lanjutnya.
Menurut Rusdi, untuk persiapan bahan baku sefalosporin sudah tersedia lahan 12 hektar di Lippo Cikarang. āMengenai besarnya investasi tergantung seberapa besar kita akan memproduksi sefalosporin. Kita tidak hanya membidik pasar Indonesia. Kita harus berani ekspor,ā kata Rusdi.
Rusdi mengatakan, tahun lalu pasar sefalosporin dan produk turunannya di Indonesia berkisar 48 juta USD atau sekitar 600 Milyar. NilaiĀ itu masih sangat kecil dibandingkan Korea yang 80% dari seluruh total obatnya didominasi oleh sefalosporin.
āKalaupun potensi di Indonesia tidak muncul, Kimia Farma dan BPPT maupun Sungwun akan membidik pasar ekspor, karena yang menguasai pasar dunia hanyalah China. Kita akan mencoba bersaing baik secara teknologi maupun secara pasar,ā kata Rusdi.
Mengenai pendirian pabrik, lanjut Rusdi, tergantung seberapa cepat BPPT dan Sungwun bisa menghitung feasibility studinya dan juga sinergi teknologi yang akan dipakai. āMudah-mudahan dalam waktu satu tahun bisa selesai sinergi teknologi dan feasibility study-nya. Lahan sudah tersedia, seharusnya akhir tahun depan sudah bisa kita bangun,ā ungkap Rusdi optimis.
Ā
Ā