Membawa hasil riset hingga ke pengguna akhir atau konsumen memerlukan tahapan panjang. Terutama hasil riset bidang kesehatan karena menyangkut keselamatan dan nyawa manusia. Karena itu diperlukan protokol yang jelas.
Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi, Jumain Appe mengatakan penelitian di bidang lain biasanya dilakukan karena tren atau kebutuhan pasar. Sementara penelitian di bidang obat-obatan dan alat kesehatan (alkes) sangat fungsional, tergantung aktivitas di rumah sakit. Dasarnya adalah penyakit pasien yang ada di rumah sakit tersebut.
“Produk di luar kesehatan biasanya harus dipercepat masuk ke pasar/market. Sementara di bidang kesehatan menjalani tahapan lebih kompleks, baru bisa masuk ke market. Kita harus mengikuti berbagai protokol penelitian dan pengembangan sampai ke inovasi yang harus dihilirisasi,” ujar Jumain dalam diskusi tentang hilirasi inovasi alkes dan obat-obatan, di Jakarta, Jumat (19/2). Diskusi ini bertujuan untuk mendorong dan mempercepat inovasi nasional terutama di bidang alkes dan obat-obatan.
Dalam proses inovasi atau hilirisasi, semua lini terutama Akademisi, Bisnis dan Pemerintah harus memiliki visi dan spirit yang sama. “Persoalannya, selama ini kita masih sendiri-sendiri. Karena itu Kemenristek Dikti memiliki misi bagaimana membawa hasil penelitian yang selama ini baru dalam tahap penemuan sampai dimanfaatkan oleh user,” lanjutnya.
Menurut Jumain, industri berperan penting dalam inovasi sebab industri yang lebih mengerti market. Peran pemerintah mengatur regulasi. Sementara peran peneliti menemukan hasil-hasil teknologi yang cepat supaya bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan industri. “Yang perlu kita lakukan adalah bagaimana membantu industri nasional dalam pengembangkan produk obat-obatan dan alkes,” kata Jumain
Masalahnya, lanjut Jumain, antara industri dengan perguruan tinggi maupun lembaga litbang memiliki kepentingan berbeda. Industri adalah profit oriented, sementara peneliti cost oriented. Apa yang dilakukan peneliti tidak sampai ke industri atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkan industri. “Karena itu, kita harus menyatukan kepentingan penelitian dan pengembangan bagaimana menghasilkan produk yang nanti dimanfaatkan oleh industri,” pungkas Jumain.
Technology Transfer Office
Untuk menjembatani antara peneliti dan industri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia membangun Technology Transfer Office (TTO) bernama Indonesian Innovation for Health (Innovate). Budi Wiweko, CEO Innovate mengatakan TTO ini khusus memfasilitasi pengembangan utilisasi di bidang kesehatan.
Menurut Budi, TTO memfasilitasi proteksi, mendaftarkan royalti, hak paten, hingga membuat produk development. “Kita berdiskusi dengan industri dan peneliti melalui one stop service, termasuk juga kemungkinan sharing dana. Menjelang komersialisasi hasil riset TTO bernegoisasi, mau tidak industri membiayai uji klinik,” Ujar Budi Wiweko.
Untuk itu, TTO melihat visibility study hingga membuat bisnis plan untuk memproyeksikan keuntungan sebuah hasil penelitian. “Peran TTO sangat penting, karena peneliti tidak bisa langsung berkomunikasi dengan industri tanpa melalui TTO. Fungsi-fungsi inilah yang diharapkan memicu industri untuk mengetahui potensi apa yang ada di universitas. Industri bisa datang ke TTO dan bernegosiasi,” lanjutnya.
Dalam usia satu tahun, Indonesian Innovation for Health (Innovate) telah menjalin kerjasama dengan beberapa industri. Dengan difasilitasi Innovate, beberapa penelitian sudah sampai tahap uji klinik antara lain Implan Glukoma dan Tele-Ultrasonografi.