Jakarta – Indonesia kini memiliki 118 CMC (Calibration and Measurement Capabilities) yaitu kemampuan suatu alat yang dijadikan standar untuk kalibrasi dan pengukuran yang diakui global. Sekitar 24 CMC diantaranya baru tahun ini diakui Internasuional sejak diajukan pada 2015 lalu yaitu mengenai suhu dan temperatur.
“CMC menjadi acuan akurasi dan presisi pengukuran dan kalibrasi, baik untuk obat maupun alat kesehatan,” ujar Hari Purwanto, Staf Ahli Bidang Infrastruktur Kemenristekdikti disela-sela PPI KIM (Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi) ke-44 di Jakarta, Senin (7/05/2018).
Di Asia, lanjut Hari, Indonesia masih tertinggal dibanding Thailand yang telah memiliki 250 CMC atau Jepang dan Korea yang telah memiliki lebih dari 1000 CMC.
Kepala Puslit KIM LIPI Gufron Zaid mengatakan dibutuhkan waktu dua hingga tiga tahun untuk proses CMC. Saat ini masih sekitar 381 layanan kalibrasi dan pengukuran untuk diproses. “Dibutuhkan sumber daya manusia yang kuat, perlaatan serta ruangan yang dikondisikan untuk keperluan itu,” ujarnya.
Tahapan lainnya, diperlukan uji banding dengan laboratorium luar negeri, dan hasilnya dievaluasi dengan kompetensi lainnya. Selanjutnya disetarakan secara global, tidak hanya Asia, tapi juga Amerika, Afrika dan Eropa. “Jika hasilnya disetujui negara dikawasan tersebut, baru memperoleh pengakuan internasional,” ujarnya.
CMC yang digagas Puslit KIM LIPI, lanjut Gufron, akan menjadi standar di rumah-rumah sakit, klinik bahkan puskesmas. “Jika alat ukur timbangan badan, misal itu bisa menentukan takaran dosis obat pada pasien,” ujarnya.
Mego Pinandito, Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI, menambahkan berbagai hasil penelitian telah dihasilkan oleh Pusat Penelitian Metrologi untuk mendukung jaminan kualitas infrastruktur kesehatan. “Salah satunya, LIPI telah mengembangkan sistem kalibrasi ear thermometer. Sistem ini rencananya juga akan digunakan di dalam uji banding internasional pada tahun ini,” tuturnya.
