TechnologyIndonesia.id – Selama satu dekade terakhir, quantum dot berada di garis depan inovasi teknologi layar, menghadirkan reproduksi warna yang sangat akurat dibandingkan dengan material lain yang ada saat ini.
Pada tahun 2015, Samsung Electronics membuka jalan bagi komersialisasi teknologi quantum dot melalui peluncuran TV SUHD — sebuah terobosan yang melampaui penggunaan kadmium (Cd), logam berat yang sebelumnya lazim digunakan dalam sintesis quantum dot, dengan menghadirkan teknologi quantum dot bebas kadmium pertama di dunia.
Keberhasilan komersialisasi TV quantum dot bebas kadmium tidak hanya menetapkan arah baru bagi penelitian dan pengembangan, tetapi juga memainkan peran penting dalam penganugerahan Nobel Kimia 2023 untuk penemuan dan sintesis quantum dot.
Berikut ini kontribusi Samsung terhadap dunia akademik melalui inovasi material yang revolusioner.
Kadmium Jadi Titik Awal Penelitian Quantum Dot
Quantum dot mulai menarik perhatian dunia ilmiah pada tahun 1980-an ketika Aleksey Yekimov, mantan Kepala Ilmuwan di Nanocrystals Technology Inc., dan Louis E. Brus, profesor emeritus di Departemen Kimia Universitas Columbia, masing-masing mempublikasikan penelitiannya mengenai efek quantum confinement dan sifat optik quantum dot yang bergantung pada ukuran partikel.
Perkembangan ini semakin pesat pada tahun 1993 ketika Moungi Bawendi, profesor di Departemen Kimia Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengembangkan metode sintesis quantum dot yang andal.
Pada 2001, Taeghwan Hyeon, profesor terkemuka dari Departemen Teknik Kimia dan Biologi Universitas Nasional Seoul (SNU), menciptakan metode “heat-up process” — sebuah teknik untuk memproduksi nanopartikel secara seragam tanpa perlu proses pemisahan ukuran.
Pada 2004, Hyeon menerbitkan metode produksi skala besar tersebut di jurnal akademik Nature Materials — sebuah penemuan yang secara luas dianggap berpotensi merevolusi industri.
Namun, semua upaya ini tidak langsung mengarah pada komersialisasi. Pada saat itu, quantum dot masih sangat bergantung pada kadmium (Cd) sebagai bahan inti — sebuah zat yang diketahui berbahaya bagi manusia dan termasuk dalam daftar material yang dibatasi menurut Restriction of Hazardous Substances (RoHS) dari Uni Eropa.
“Saat ini, satu-satunya material yang mampu menghasilkan quantum dot secara andal adalah cadmium selenide (CdSe) dan indium phosphide (InP),” jelas Hyeon.
“Cadmium selenide, sebagai material quantum dot konvensional, merupakan senyawa dari unsur golongan II dan VI, sedangkan indium phosphide dibentuk dari unsur golongan III dan V. Mensintesis quantum dot dari unsur golongan II dan VI relatif lebih mudah, namun menggabungkan unsur golongan III dan V secara kimia jauh lebih kompleks,” imbuhnya.
Perbandingan antara quantum dot berbasis kadmium dengan ikatan ionik dan quantum dot berbasis indium dengan ikatan
Kadmium, unsur dengan dua elektron valensi, membentuk ikatan ionik yang kuat dengan unsur seperti selenium (Se), sulfur (S), dan tellurium (Te) — yang masing-masing memiliki enam elektron valensi.
Kombinasi ini menghasilkan semikonduktor yang stabil, dikenal sebagai semikonduktor II–VI, yaitu material yang telah lama digemari dalam penelitian karena kemampuannya menghasilkan nanokristal berkualitas tinggi bahkan pada suhu yang relatif rendah. Karena alasan inilah, penggunaan kadmium dalam sintesis quantum dot dianggap sebagai standar akademik selama bertahun-tahun.
Sebaliknya, indium (In) — alternatif dari kadmium dengan tiga elektron valensi — membentuk ikatan kovalen dengan unsur seperti fosfor (P), yang memiliki lima elektron valensi. Ikatan kovalen umumnya kurang stabil dibandingkan ikatan ionik dan memiliki sifat arah, yang meningkatkan kemungkinan terjadinya cacat selama proses sintesis nanokristal.
Karakteristik ini menjadikan indium sebagai material yang menantang, baik dalam penelitian maupun produksi massal.
“Sulit untuk mencapai tingkat kristalinitas tinggi pada quantum dot berbahan dasar indium phosphide. Diperlukan proses sintesis yang kompleks dan menuntut agar bisa memenuhi standar kualitas yang diperlukan untuk komersialisasi,” jelas Lee.
Dari Terobosan Menuju Produksi Massal
Kepala Advanced Display Lab, Visual Display (VD) Business di Samsung Electronics, Sanghyun Sohn menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan riset dan pengembangan teknologi quantum dot sejak tahun 2001.
“Namun sejak awal, kami menyadari bahwa kadmium — yang berbahaya bagi tubuh manusia — tidak cocok untuk dikomersialkan,” terangnya.
Walaupun beberapa negara secara teknis masih mengizinkan hingga 100 bagian per sejuta (ppm) kandungan kadmium dalam produk elektronik, Samsung sejak awal mengadopsi kebijakan zero-cadmium.
“Tidak ada kadmium, tidak ada kompromi — itulah strategi kami. Tidak ada ruang untuk berkompromi dalam hal keselamatan konsumen,” ujar Sohn.
Komitmen jangka panjang Samsung terhadap prinsip “Tanpa Kompromi terhadap Keselamatan” mencapai puncaknya pada tahun 2014 ketika perusahaan berhasil mengembangkan material quantum dot bebas kadmium pertama di dunia.
Untuk memastikan daya tahan dan kualitas gambar, Samsung memperkenalkan teknologi pelapisan pelindung tiga lapis yang melindungi nanopartikel indium phosphide dari faktor eksternal seperti oksigen dan cahaya.
Setahun kemudian, Samsung meluncurkan SUHD TV komersial pertama di dunia dengan teknologi quantum dot bebas kadmium — sebuah perubahan besar dalam industri layar dan puncak dari perjalanan riset yang dimulai sejak awal 2000-an.
“Quantum dot berbasis indium phosphide secara alami tidak stabil dan lebih sulit disintesis dibandingkan dengan quantum dot berbasis kadmium, awalnya hanya mampu mencapai sekitar 80% dari performa quantum dot berbasis kadmium,” ujar Sohn.
“Namun, melalui proses pengembangan intensif di Samsung Advanced Institute of Technology (SAIT), kami berhasil meningkatkan performanya hingga 100% dan memastikan keandalannya selama lebih dari 10 tahun,” imbuhnya.
Tiga komponen utama dari quantum dot
Quantum dot yang terdapat dalam Samsung QLED terdiri dari tiga komponen utama — inti (core) tempat cahaya dipancarkan, cangkang (shell) yang melindungi inti dan menstabilkan strukturnya, serta ligan, yaitu lapisan polimer yang meningkatkan stabilitas terhadap oksidasi di luar cangkang.
Esensi dari teknologi quantum dot terletak pada integrasi menyeluruh dari ketiga elemen ini, melalui proses industri canggih yang mencakup mulai dari pengadaan bahan, sintesis, produksi massal, hingga pengajuan berbagai paten.
“Tidak ada satu pun dari ketiga komponen — inti, cangkang, atau ligan — yang bisa diabaikan. Teknologi Samsung dalam sintesis indium phosphide sangat luar biasa,” tambah Doh Chang Lee, profesor di Departemen Teknik Kimia dan Biomolekuler, Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST).
“Mengembangkan teknologi di laboratorium sudah merupakan tantangan tersendiri, namun mengkomersialkannya memerlukan upaya yang sama sekali berbeda agar produk tetap stabil dan kualitas warnanya konsisten,” ujar Hyeon.
“Saya sangat terkesan bahwa Samsung berhasil mengkomersialkan produk layar quantum dot bebas kadmium,” imbuhnya.
Menetapkan Standar Quantum Dot
Sifat optik dari quantum dot kini dimanfaatkan di berbagai bidang, termasuk panel surya, kedokteran, dan komputasi kuantum. Namun hingga saat ini, aplikasi yang paling banyak diteliti dan berhasil dikomersialkan secara luas adalah pada tampilan layar — dan Samsung menjadi pionir dalam hal ini.
Dengan landasan riset bertahun-tahun dan peluncuran SUHD TV, Samsung memperkenalkan QLED TV pada tahun 2017 dan menetapkan standar baru untuk layar premium. Inovasi ini terus dilanjutkan, hingga pada tahun 2022, Samsung memperkenalkan QD-OLED TV — layar pertama di dunia yang menggabungkan quantum dot dengan struktur OLED.
Perbandingan antara struktur LCD, QLED, dan QD-OLED
QD-OLED adalah teknologi layar generasi terbaru yang mengintegrasikan quantum dot ke dalam struktur OLED yang memancarkan cahaya sendiri (self-emissive). Pendekatan ini memungkinkan waktu respons yang lebih cepat, warna hitam yang lebih pekat, dan rasio kontras yang lebih tinggi.
QD-OLED dari Samsung dianugerahi Display of the Year 2023 oleh Society for Information Display (SID), organisasi terbesar di dunia yang berfokus pada teknologi layar.
“Samsung tidak hanya memimpin pasar dengan TV quantum dot berbasis indium phosphide, tetapi juga menjadi satu-satunya perusahaan yang berhasil mengintegrasikan dan mengkomersialkan quantum dot dalam teknologi OLED,” ujar Sohn.
“Dengan memanfaatkan kepemimpinan kami dalam teknologi quantum dot, kami akan terus memimpin inovasi masa depan dalam industri layer,” imbuhnya.
Doh Chang Lee menambahkan, tren riset di kalangan akademisi mengalami pergeseran yang signifikan sebelum dan sesudah peluncuran TV quantum dot Samsung. Sejak diluncurkan, diskusi semakin berfokus pada penerapan praktis dibandingkan material itu sendiri, mencerminkan potensi implementasi nyata melalui teknologi layar”
“Sudah banyak upaya menerapkan quantum dot dalam berbagai bidang, termasuk fotokatalisis. Namun, upaya-upaya tersebut masih dalam tahap awal jika dibandingkan dengan penggunaannya dalam teknologi layer,” ujar Lee.
Hyeon juga menyoroti bahwa keberhasilan komersialisasi TV quantum dot Samsung membantu membuka jalan bagi Bawendi, Brus, dan Yekimov untuk menerima Nobel Kimia 2023. Menurutnya, salah satu kriteria terpenting dalam penghargaan Nobel adalah sejauh mana sebuah teknologi memberikan kontribusi nyata bagi umat manusia melalui komersialisasi.
“QLED dari Samsung merupakan salah satu pencapaian paling signifikan dalam bidang nanoteknologi. Tanpa adanya komersialisasi, sulit bagi quantum dot untuk meraih pengakuan Nobel,” ujar Hyeon.
Visi Samsung untuk Layar Masa Depan
Sejak peluncuran TV QLED-nya, Samsung terus mempercepat perkembangan teknologi quantum dot di industri maupun akademisi. Ketika ditanya tentang masa depan layar quantum dot, para ahli pun membagikan pandangan mereka.
Sohn mengatakan sebagai teknologi generasi berikutnya, Samsung saat ini tengah mengeksplorasi quantum dot yang dapat memancarkan cahaya sendiri (self-emissive). Selama ini, quantum dot mengandalkan sumber cahaya eksternal untuk menampilkan warna merah dan hijau.
“Ke depannya, kami ingin mengembangkan quantum dot yang dapat memancarkan cahaya secara mandiri melalui proses elektroluminesensi — menghasilkan ketiga warna primer hanya dengan menyuntikkan energi listrik. Kami juga tengah mengembangkan quantum dot warna biru,” ujar Sohn.
“Karena material elektroluminesen memungkinkan penyusutan ukuran komponen perangkat, kita akan mampu mencapai resolusi tinggi, efisiensi, dan tingkat kecerahan yang dibutuhkan untuk aplikasi virtual dan augmented reality,” kata Lee, yang memprediksi akan ada transformasi besar dalam masa depan teknologi layar.
Menurut Sohn, layar yang baik adalah layar yang bahkan tidak disadari keberadaannya oleh pemirsa. “Tujuan akhir kami adalah menghadirkan pengalaman yang terasa begitu nyata, hingga tak bisa dibedakan dari kenyataan. Sebagai pemimpin dalam inovasi layar quantum dot, kami akan terus melangkah maju dengan bangga,” ujar Sohn.
Dengan kepemimpinan yang konsisten dan visi teknologi yang berani, Samsung tengah membentuk masa depan teknologi layar dan menulis ulang batas kemungkinan dengan quantum dot.