Yuliar Firdaus, Periset Berprestasi Bidang Sel Surya dan Optoelektronika

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Memasuki usianya yang kedua, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memberikan penghargaan kepada 12 periset berprestasi. Salah satunya, Yuliar Firdaus, Ph.D., Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Elektronika, Organisasi Riset Elektronika dan Informatikan BRIN.

Yuliar menerima penghargaan atas kontribusi dan capaian penelitiannya di bidang sel surya dan optoelektronika. Capaian produktivitas risetnya melingkupi: 12 artikel dan 1 prosiding di jurnal bereputasi tinggi terindeks Scopus, penerima pendanaan riset baik internal maupun eksternal, serta 23 jumlah sitasi H-Indeks Scopus.

Melansir dari laman brin.go.id, Yuliar mengungkapkan bahwa menjadi peneliti merupakan cita-citanya sejak SMA. Namun, ia mengaku tidak tahu profesi peneliti itu seperti apa hingga dirinya menginjak bangku kuliah.

Yuliar menempuh studi S1 dan S2 di bidang ilmu fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), dan melanjutkan studi doktoralnya di bidang Ilmu Kimia, KU Leuven Belgia. Dari sanalah, minat dan keahliannya di bidang riset sel surya dan optoelektronika semakin ajek.

Selepas lulus, Yuliar menjadi salah satu peneliti diaspora di King Abdullah University of Science and Technology (KAUST) dari 2015 hingga 2021 sebagai postdoctoral fellow. Selama di KAUST, kemampuan risetnya di bidang organic photovoltaic (OPV) kian terasah. OPV adalah salah satu teknologi sel surya generasi ketiga yang memanfaatkan bahan polimer organik sebagai lapisan penyerap cahaya.

Tiga Generasi

Dunia mengenal tiga generasi teknologi sel surya. Generasi pertama berupa kristal silikon (c-Si), yang modulnya jamak ditemui di banyak bangunan. Teknologi sel surya terpopuler ini terbuat dari silikon kristal tunggal ataupun poli kristal silikon.

Generasi pertama membutuhkan bahan tebal sehingga harganya yang relatif mahal. Karena itulah, muncul sel surya dengan lapisan tipis yang disebut generasi kedua.

Sel surya generasi kedua ini terbuat dari material seperti copper indium gallium selenide (CIGS), cadmium telluride (CdTe), dan amorphous silicon (a-Si). Lapisan tipis yang fleksibel dan ringan memungkinkan sel surya ini ditempatkan pada banyak tipe substrat, seperti kain misalnya.

Selanjutnya, hadir sel surya generasi ketiga yang memanfaatkan material-material yang relatif lebih murah dibandingkan generasi sebelumnya. Sel surya generasi ketiga ini memiliki potensi tingkat efisiensi yang lebih baik karena mampu menghasilkan energi listrik lebih banyak. Serta, memiliki lebih banyak pilihan material penyusun.

Sebagai negara tropis yang menerima sinar matahari sepanjang tahun, Indonesia memiliki potensi besar baik dari aspek praktis maupun riset dalam bidang sel surya. Potensi pengembangan energi surya di Indonesia mencapai 207,8 gigawatt.

Meskipun demikian, energi surya yang bisa direalisasikan tak lebih dari 0,15 gigawatt. “Mau gak mau kita harus fokus pada pengembangan energi matahari,” tegasnya.

Bekerja bersama para peneliti di Pusat Riset Elektronika BRIN, Yuliar mengaku tertarik untuk kembali menggarap sel surya Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) yang trennya mulai ditinggalkan karena kehadiran PSC.

DSSC merupakan jenis lain dari sel fotovoltaik yang menggunakan pewarna fotosensitif untuk menyerap cahaya dan menghasilkan listrik. Materialnya yang berwarna-warni dan transparan tidak hanya bisa bekerja sebagai penghasil listrik, tetapi juga mempercantik bangunan.

Selama periode 2022-2023, Yuliar terlibat setidaknya dalam tiga kegiatan riset yang bersumber dari pelbagai pendanaan. Pertama, pengembangan elektroda karbon pada sel surya berbasis perovskite untuk aplikasi kendaraan listrik.

Kedua, sistem photo-rechargeable battery berbasis teknologi sel surya-baterai terintegrasi. Ketiga, pengembangan modul sel surya berbasis hole transport layer (HTL) baru untuk aplikasi kendaraan listrik. Pada kegiatan ketiga, dirinya berperan sebagai ketua kegiatan.

Riset HTL berbicara mengenai salah satu bagian dalam struktur PSC. Secara umum, PSC diklasifikasikan dalam dua tipe arsitektur, yaitu nip dan pin. Keduanya terdiri dari lapisan-lapisan penyusun dimana salah satunya HTL.

“HTL ini berfungsi supaya ekstraksi muatan dari active layer bisa seefisien mungkin,” terangnya. Sejauh mana efisiensi tersebut tergantung pada bahan-bahan yang digunakan. “Kita coba kembangkan gimana bisa dapat HTL yang seefisien mungkin,” tambahnya.

Proyeksi ke depannya, setelah HTL-nya bagus serta kemudian perangkat yang dihasilkan mumpuni, tim akan mencoba meningkatkan skalanya sebagai modul. “Misalnya, kita coba kembangkan di substrat yang fleksibel,” ujarnya.

Aplikasi di Kendaraan Listrik

Terkait pengaplikasiannya di kendaraan listrik, Yuliar berharap sel surya tersebut bisa menyediakan daya untuk mendukung sistem komunikasi kendaraan listrik otonom.

Dalam riset pengembangan elektroda karbon pada sel surya berbasis perovskite untuk kendaraan listrik, Yuliar bersama tim yang diketuai Natalita Maulani Nursam bekerja sama untuk melahirkan sebuah top kontak yang lebih murah. “Biasanya perovskite itu top kontaknya pakai silver,” terang pengagum fisikawan Richard Feynman tersebut.

Material karbon tersedia melimpah di alam sehingga relatif lebih murah. Kendati demikian, tim masih terus berusaha meningkatkan konduktivitasnya. Sementara itu, riset tentang sistem photo-rechargeable battery berbasis teknologi sel surya-baterai terintegrasi berbicara tentang bagaimana sel surya dapat diintegrasikan dengan baterai. Namun, dalam perkembangannya, ada kemungkinan proyeksi penyimpanannya akan beralih kepada kapasitor.

Sebagai peneliti, Yuliar mengaku puas tatkala berhasil membuktikan suatu fenomena yang murni berasal dari gagasannya sendiri. Hal itu terjadi ketika Ia bekerja sebagai postdoctoral fellow di KAUST. Saat itu, Yuliar menemukan suatu perhitungan yang dapat menghasilkan sebuah studi fenomena yang menarik.

Ke depan, Yuliar ingin mewujudkan integrasi sel surya dengan suatu sistem elektronik. Hal itu karena banyak orang sudah semakin menyadari dan tertarik akan teknologi sel surya. Selain itu bisa membuka peluang sel surya generasi ketiga sebagai sebuah ceruk pasar yang potensial.

Dengan semua fasilitas riset dan SDM yang ada, Yuliar yakin BRIN sanggup melakukannya. “Kita ada Clean Room dan ke depannya kita bisa kembangkan ada sel suryanya, ada sensornya, atau ada device-device lainnya di satu perangkat,” tuturnya.

Yuliar percaya, asa tersebut sejalan dengan cita-cita Bapak Mikroelektronika Indonesia, Prof. Samaun Samadikun. (Sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author