Potensi Bioavtur untuk Bahan Bakar Pesawat Terbang

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Biomassa merupakan sebuah bentuk dari energi terbarukan yang berasal dari bahan organik seperti hewan dan tumbuhan. Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar bisa memanfaatkannya untuk sumber bioenergi.

Kepala Organisasi Riset Tata Kelola, Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Eko Nugroho menyampaikan, Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar, perlu mengembangkan bioavtur sebagai bahan bakar pesawat.

“Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, bisnis penerbangan menjadi sangat penting di Indonesia,” ujar Agus dalam Seminar Pemanfaatan Biomass untuk Bahan Bakar Pesawat Terbang dengan Standar Sustainable Aviation Fuel, di Gedung Innovation Convention Center (ICC), Kawasan Sains dan Teknologi Soekarno, Cibinong, Jumat (22/9/2023).

Agus berharap seminar ini menjadi wadah berdiskusi dalam pengembangan bioavtur sebagai bahan bakar pesawat. “Saya berharap, bioavtur yang dikembangkan nantinya dapat mendukung bahan bakar maskapai komersial,” harapnya.

Analis Kebijakan Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Maslan menuturkan bioenergi merupakan salah satu Energi Baru Terbarukan (EBT) yang mendukung transisi energi menuju net zero emission.

“Bapak Presiden menyatakan bahwa Indonesia terus melakukan langkah-langkah konkrit, antara lain penurunan emisi,” tuturnya.

“Pengembangan bioavtur di Indonesia telah diinisiasi sejak 2015. Pertamina dan ITB mengembangkan bioavtur dengan konsentrasi 2,4 persen, yang saat ini disebut bioavtur J2,4. Ini merupakan campuran kerosin dan palm oil 2,4 persen,” tambah Maslan.

Menurutnya, tantangan besar yang dihadapi karena kebutuhan avtur sebagai bahan bakar pesawat yang terus meningkat. Hingga saat ini, bioavtur masih terus dikembangkan di Pertamina dengan menggunakan bahan baku lainnya, termasuk bahan baku Palm Oil Mils Effluent (POME). Namun ada perbedaan harga antara bahan bakar avtur dan bioavtur yang akan berpengaruh terhadap biaya operasional maskapai.

Saat ini, lanjut dia, biofuel yang sudah dikembangkan di Indonesia adalah biodiesel dan bioetanol. “Bahan bakar tersebut merupakan hasil bahan bakar nabati, ke depannya pengembangan biofuel bukan hanya untuk kalangan tertentu, tetapi dapat dijangkau masyarakat,” tandasnya.

Uji Terbang

Vice President Strategic Planning Refining & Petrochemical PT. Kilang Pertamina International Prayitno menjelaskan, Pertamina sebagai BUMN memiliki kewajiban menyediakan energi yang available, affordable, dan sustainable.

“Pertamina sudah bisa membuat bioavtur di Kilang Cilacap, sekarang porsinya 2,4 persen, sudah dilakukan uji terbang CN235 tahun 2021, dan tahun ini direncanakan buat komersial boeing, semoga berhasil dengan baik,” jelasnya.

Dia menyebutkan, bahan baku untuk bioavtur yang sudah ada menggunakan RBDPKO. RBDPKO merupakan Crude Palm Oil (CPO) yang sudah diolah lebih lanjut dan harganya masih mahal.

Prayitno membeberkan, untuk jangka panjang, Pertamina Kilang Cilacap merencanakan pembangunan fasilitas baru dengan bahan baku yang awalnya didesain menggunakan bahan baku CPO.

“Sementara ini CPO dan produk yang dihasilkan CPO itu dibeli Eropa, maka kita mencari bahan baku second generation diantaranya minyak jelantah, POME, atau bahan baku yang lain. Sehingga desain saat ini merupakan second generation,” paparnya.

Director of Town and Gown Institute for Future Innovation, Hiroshima University, Chikage Miyoshi menyampaikan pentingnya pengembangan bioenergi untuk mengurangi emisi yang semakin tinggi. “Sebenarnya banyak energi terbarukan yang dapat digunakan menuju net zero emisi,” tuturnya.

Miyoshi juga mengatakan bahwa beberapa negara memiliki inovasi masing-masing dalam menggunakan energi yang ramah lingkungan sesuai dengan peraturan masing-masing negara.

“Pemanfaatan biomassa untuk bahan bakar pesawat perlu disesuaikan dengan kebijakan transportasi yang ada, sehingga pengembangan bahan bakar ini dapat berkelanjutan,” jelasnya.

Miyoshi menegaskan perlunya kerja sama antar para pemangku kepentingan dalam pengembangan bioenergi sehingga dapat berjalan sesuai rencana. “Kerja sama diperlukan di semua sektor, diantaranya universitas, lembaga pemerintah, dan industri,” tegasnya.

“Jika Indonesia memiliki bahan baku yang mendukung bioenergi, sebaiknya terus dikembangkan. Hal ini juga merupakan bentuk pemanfaatan limbah organik untuk program energi hijau,” tambah Miyoshi.

Hasil Samping POME dan Tandan Kosong

Perekayasa Ahli Utama Pusat Riset Teknologi Industri Proses dan Manufaktur BRIN Semuel Pati Senda mengungkapkan, kelapa sawit merupakan penyumbang limbah terbesar, terutama POME dan tankos (tandan kosong).

Lebih lanjut Semuel menjelaskan, POME dan tankos dulu disebut sebagai limbah, namun sekarang disebut sebagai hasil samping. Limbah POME tersebut sangat berbahaya jika dibuang ke lingkungan.

“Saat ini para industri pengolah kelapa sawit sudah banyak yang mengolah hasil sampingnya menjadi biogas sesuai dengan Permen No. 29 Tahun 2018 terkait dengan industri hijau. Biogas ini bisa menyumbang 9,7 persen untuk program energi,” jelasnya.

Dia mengulas perlu tiga proses dalam mengolah biomassa menjadi biogas, antara lain pembakaran langsung, konversi termokimia, dan konversi ion kimia biologis. Menurutnya, biogas merupakan bahan bakar yang paling aman dan efektif di antara bahan bakar lainnya. (Sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author