Jakarta, Technology-Indonesia.com – Menghadapi tantangan cadangan sumber energi fosil yang semakin menipis, menghemat energi merupakan langkah terbaik. Namun demikian, peningkatan konsumsi energi sebagai indikator kemajuan ekonomi Indonesia tetap harus difasilitasi dengan keberadaan sumber energi yang mendukung.
Pemerintah Indonesia telah berupaya mewujudkan perencanaan pembangunan rendah karbon atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI) dan telah masuk dalam kerangka kerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Eko Nugroho, kebijakan energi di Indonesia masih tidak sinkron. “Satu sisi pemerintah mendukung energi tidak terbarukan, namun satu sisi juga mengembangkan energi terbarukan,” jelas Agus dalam Seminar Energi yang digelar di Jakarta pada Jumat (1/3/2019).
Agus menambahkan, riset tentang energi menjadi salah satu riset inti di Pusat penelitian Ekonomi LIPI, mulai dari energi untuk pengentasan kemiskinan hingga wilayah terpencil.
Indonesia, lanjutnya, saat ini masih bergantung pada energi berbasis fosil. “Bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, batu bara masih menjadi sumber energi yang dominan. Hal tersebut menunjukkan perekonomian Indonesia hampir sepenuhnya ditopang oleh konsumsi bahan bakar fosil,” ujar Agus.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, Maxensius Tri Sambodo menjelaskan prospek transisi atau transformasi teknologi di sektor energi bisa memberikan peluang bagi Indonesia ke depan untuk secara bertahap keluar dari jeratan batubara. Pada tahun 2000 sekitar 95,6% suplai energi primer Indonesia berbasis pada energi fosil, 18 tahun kemudian turun menjadi 93,7%.
“Yang menarik, dalam periode yang sama 2000-2017 peran batubara dari dalam suplai energi primer meningkat signifikan dari dari 11% menjadi 30%. Jadi hampir 1/3 dari fosil base kita disuplai oleh batu bara. Mungkin batubara saat ini murah, tetapi kemajuan teknologi membuat batubara sudah disusul energi terbarukan yang sudah sangat kompetitif,” terangnya.
Maxensius mengungkapkan, Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% atas upaya sendiri dan 41% dengan menjalin kerjasama internasional di tahun 2030. Namun, kondisi saat ini berdasarkan pengamatan peneliti ada kekhawatiran terjadi pada peningkatan persentase tersebut sehingga akan sulit tercapai.
Menurut Max, sektor pembangkit listrik dan transportasi akan menjadi sektor kunci bagi pengurangan emisi karbon. Tetapi, transisi menuju pembangunan dengan emisi rendah karbon bukanlah hal yang mudah.
“Hal ini merupakan tantangan yang perlu diterapkan agar Indonesia mampu meningkatkan peran energi bersih secara signifikan tanpa menambah beban biaya energi,” jelasnya. Menurutnya dalam jangka panjang semua jenis bahan bakar fosil berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan emisi karbon.
Max menambahkan, pada rentang tahun 2018-2019 penelitian yang dilakukan oleh LIPI bekerjasama dengan ADB (Asian Development Bank), CSIS (Centre for Strategic and International Studies); dan Kyoto University telah menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah tentang LCDI serta rancang bangun kebijakan dari sisi bisnis model, teknologi, dan infrastruktur yang masih memerlukan penataan lebih baik.
Seminar tersebut juga menghadirkan narasumber Akihisa Mori dari Kyoto University, Jepang yang memaparkan transisi energi di Indonesia dari sudut pandang multilevel, ekonomi politik dan geo-ekonomi.
