TechnologyIndonesia.id – Kebutuhan energi terbarukan di Indonesia semakin mendesak, seiring meningkatnya permintaan listrik dan komitmen dunia terhadap pengurangan emisi karbon.
Menjawab tantangan ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan teknologi organic solar cell (OSC) atau sel surya organik, yang dinilai lebih ramah lingkungan, fleksibel, dan bisa diproduksi dengan biaya lebih rendah.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Elektronika BRIN, Yuliar Firdaus menjelaskan bahwa OSC merupakan sel surya generasi baru yang menggunakan material organik seperti polimer donor dan akseptor molekul kecil untuk menyerap cahaya dan menghasilkan listrik.
Teknologi ini sudah berkembang pesat, dari era penggunaan poli (3-heksiltiofen) (P3HT)-fullerene dengan efisiensi 3–7 persen, hingga kini mencapai lebih dari 20 persen berkat hadirnya non-fullerene acceptors (NFAs) dan donor polimer baru.
“Studi terdahulu yang telah saya lakukan menunjukkan efisiensi OSC bisa menembus batas teoretis lebih dari 22 persen jika rekombinasi permukaan dapat ditekan dan mobilitas muatan terus ditingkatkan,” jelas Yuliar, dalam The 2nd Symposium on Advanced Photovoltaics 2025, beberapa waktu lalu.
“Karena itu, riset yang telah saya lakukan berfokus pada rekayasa interlayer dan hole transport layer untuk meningkatkan performa perangkat, baik single-junction maupun tandem cells,” imbuhnya.
Lebih lanjut Yuliar menyampaikan kelebihan OSC adalah lebih fleksibel dan ringan, sehingga bisa dipasang di mana saja. Kelebihan lainnya, proses produksi lebih sederhana dan murah, bahkan bisa menggunakan teknik printing.
Kemudian warna dan tingkat transparansi dapat diatur, sehingga cocok untuk building-integrated photovoltaics (BIPV) dan perangkat portabel.
“Dalam aplikasinya, interlayer yang ramah proses, seperti WS₂, MoS₂, CuSCN, atau SAM 2PACz, memungkinkan kinerja tinggi sekaligus berpotensi untuk recycling,” terang Yuliar.
Solar sel generasi sebelumnya, yaitu solar sel konvensional berbasis silikon yang mempunyai sifat kaku, berat, dan membutuhkan proses manufaktur bersuhu tinggi. OSC bisa diproses dengan teknik larutan (solution-processed), ringan, fleksibel, dan bisa diaplikasikan pada berbagai permukaan, termasuk kaca lengkung atau plastik.
Dalam mengembangkan riset OSC ini, Yuliar menyampaikan terdapat beberapa kendala. Di antaranya efisiensi sudah cukup tinggi walaupun masih bisa ditingkatkan mendekati efisiensi limit dari OSC.
“Selain itu, stabilitas jangka panjang dan umur pakai perangkat relatif lebih pendek. Tantangan dalam scaling-up ke ukuran modul besar tanpa kehilangan performa, serta ketersediaan material interlayer yang murah, ramah lingkungan, dan mudah diproduksi masih terbatas,” ungkap Yuliar.
Harapannya, OSC dapat dikembangkan menjadi teknologi energi terbarukan yang efisien, stabil, murah, dan fleksibel. Dengan riset interlayer, rekayasa bahan penyerap, dan proses rekayasa untuk scale up, teknologi ini dapat diproduksi massal di Indonesia, diaplikasikan dalam bangunan, perangkat elektronik, maupun infrastruktur, serta mendukung kemandirian energi nasional.
“Untuk itu, diharapkan dukungan menyeluruh dari segi fasilitas dan pendanaan dari BRIN dan pemerintah,” pungkas Yuliar.
BRIN Kembangkan Sel Surya Organik, Lebih Fleksibel dan Ramah Lingkungan
