Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 12 Tahun 2015 telah mewajibkan penggunaan 2-5% bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) pada 2016 dan diharapkan mencapai 5-10% pada 2020. Namun hingga menjelang akhir tahun 2018, implementasi peraturan tersebut belum terealisasi.
Penelitian dan pengembangan produksi bioetanol sebenarnya telah banyak dilakukan. Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, Agus Haryono mengungkapkan, LIPI telah mengembangkan bioetanol berbahan baku tandan kosong sawit sejak tahun 2008. Bahkan Pusat Penelitian Kimia LIPI mendapatkan penetapan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebagai Pusat Unggulan Iptek (PUI) Bioetanol Generasi 2.
“Kami sudah dibina sejak 2017, diharapkan kerja kami sebagai PUI bisa mempercepat realisasi dari Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015,” Kata Agus dalam Focus Group Discussion (FGD) “Prospek Pengembangan Bioetanol Generasi 2 dalam Mendukung Konversi Bahan Bakar Fosil” pada Rabu (3/10/2018) di Jakarta.
Agus menerangkan banyak tantangan dalam implementasi bioetanol sebagai bahan bakar. Saat ini bioetanol yang digunakan banyak berasal dari bahan pangan atau disebut sebagai Bioetenol Generasi 1 sehingga harus berkompetisi antara bahan baku bioetanol dengan pangan.
Sementara, Bioetanol Generasi 2 bersumber dari limbah pertanian dan biomassa seperti tandan kosong kelapa sawit, ampas tebu, dan limbah lainnya. “Melalui penggunaan limbah biomassa seperti tandan kosong sawit sebagai bahan baku bioetanol, kita diharapkan dapat menjawab permasalahan persaingan bahan baku ini,” jelasnya.
Lebih lanjut Agus menerangkan, penelitian dan pengembangan khususnya terkait teknologi proses sangat diperlukan untuk menemukan solusi dari sisi ekonomi pada proses produksi bioetanol Generasi 2. LIPI telah mengembangkan teknologi untuk mengubah limbah biomassa khususnya tandan kosong sawit menjadi bioetanol. LIPI telah bekerjasama dengan dua BUMN yaitu PT Rekayasa Industri dan PT Pertamina (Persero) untuk pengembangan yang mengarah pada produksi bioetanol skala industri.
FGD ini bertujuan mencari jawaban atas sulitnya implementasi penggunaan bioetanol sebagai campuran BBM. FGD ini mempertemukan berbagai stakeholder baik dari Kementrian ESDM, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), BPDP Kelapa Sawit, BUMN, dan para peneliti serta praktisi yang konsen dengan pengembangan bioetanol.
Agus berharap, kegiatan ini dapat merumuskan peta riset, pengembangan, produksi dan pemanfaatan bioetanol sebagai campuran BBM sehingga Indonesia dapat mengaplikasikan penggunaan bahan bakar nabati baik pada sektor usaha mikro, pertanian, transportasi, dan industri komersial.
“Kami berharap hasil FGD dapat menjadi masukan bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk menyukseskan program konversi bahan bakar fosil di Indonesia,” ungkap Agus.
Dalam kesempatan tersebut, Rina Mariyana, Technology Research and Development Engineer PT Rekayasa Industri mengatakan saat ini pihaknya fokus pada research and development (R&D) untuk mengembangkan teknologi bioetanol berbahan mentah tandan kosong sawit untuk diaplikasikan pada skala komersial.
PT Rekayasa Industri merupakan perusahaan rancang bangun yang biasa membangun pabrik petrochemical, kilang minyak dan gas. Salah satunya, pembangunan pabrik bioetanol di Lampung berbahan baku singkong.
“Kami biasa membangun lisensi teknologi dari luar negeri. Bahkan untuk bioetanol dari singkong lisensinya dari India. Kami bercita-cita agar Indonesia memiliki lisensi teknologi sendiri dan tidak bisa terus bergantung dengan teknologi asing,” tutur Rina.
PT Rekayasa Industri memulai penelitian terkait bioetanol sejak 2012 dan berencana membangun pilot plan. Menurut Rina, pabrik bioetanol seharusnya dibangun mendekati pabrik kelapa sawit agar biaya transportasi bahan baku bisa ditekan. Provinsi yang potensial untuk pabrik bioetanol antara lain Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.
“Kami menyadari pilot plan ini tidak bisa berdiri sendiri sehingga perlu kolaborasi dengan para ahli dalam hal ini LIPI yang sudah memiliki pengalaman lebih. Kami bercita-cita di sekitar tahun 2025 mudah-mudahan teknologi bioetanol skala komersialnya sudah bisa diaplikasikan,” pungkasnya.