TechnologyIndonesia.id – PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) berkolaborasi dengan Think Policy menggelar diskusi kelompok terpumpun untuk mendukung peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Hotel JS Luwansa Jakarta pada Selasa (25/2/2025).
Diskusi bertajuk “Menyelaraskan Visi Pemerintah dengan Aksi Akar Rumput” ini melibatkan pemerintahan, akademisi, perbankan, serta pengusaha UMKM, sehingga diskusi diperkaya oleh beragam perspektif dan masukkan.
Chief Risk & Sustainability Officer Amartha, Aria Widyanto saat membuka acara memberikan pemahaman lebih dekat mengenai segmen UMKM akar rumput dan kontribusi Amartha dalam mensejahterakan segmen ini.
Aria memaparkan bahwa selama 14 tahun perjalanan, Amartha telah melayani lebih dari 2,7 juta perempuan pengusaha mikro dan ultramikro di 50.000 desa di seluruh Indonesia.
“Namun, hasil riset Amartha menemukan segmen ini memiliki persona yang beragam sehingga diperlukan strategi intervensi dari multipihak. Karena itu, Amartha berinisiatif mempertemukan berbagai pemegang kepentingan untuk membangun kolaborasi lintas sektor dan institusi,” papar Aria.
Amartha berharap diskusi ini dapat menjadi media jejaring dan memberikan risalah kebijakan yang menjadi dasar bagi semua pihak untuk bergerak secara sinergi dalam mensejahterakan UMKM.
Pada diskusi tersebut, Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian UKM, Riza Damanik menjelaskan tantangan dan agenda strategis Kedeputian Usaha Mikro sebagai strategi investasi ekonomi di akar rumput.
Ia menyoroti potensi dan daya tahan dari para pengusaha mikro dan ultra mikro memiliki daya tahan yang cukup kuat, dimana sektor ini telah teruji tahan dari krisis ekonomi.
“Kalau lihat di dalam landscape pengusaha di Indonesia, maka mayoritas adalah pengusaha mikro dan ultramikro, datanya mengatakan lebih kurang 99,6%. Salah satu karakteristik pengusaha mikro dan ultramikro, mereka punya daya cukup kuat,” kata Riza.
Tantangan dan Intervensi yang Dibutuhkan
Riza Damanik mengakui masih banyak tantangan yang dihadapi pengusaha mikro, salah satunya rendahnya produktivitas karena postur usahanya belum mencapai skala ekonomi yang memadai.
Menurutnya, beban produksi usaha mikro lebih tinggi, biaya produksi lebih mahal, alat produksi terbatas, tenaga kerja sedikit, dan sulit mendapatkan akses pasar yang berkelanjutan.
“Karena itu, pemerintah mendorong agar usaha mikro mulai berkelompok, membangun klaster-klaster usaha yang sejenis dalam satu ekosistem dan bisa membangun kemitraan dengan usaha kecil, menengah, atau usaha besar,” kata Riza.
Seperti diketahui, UMKM memiliki potensi sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Pada tahun 2024, tercatat ada 66 juta pelaku UMKM di Tanah Air dengan kontribusi mencapai 61% dari total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, atau setara Rp9.500 triliun, sektor ini bahkan bisa dikatakan merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Produktivitas pengusaha mikro, tambah Riza Damanik, bisa jauh lebih baik jika berkelompok. Ia mencontohkan transaksi di klaster sentra pedagang pasar yang melibatkan 2,8 juta usaha mikro, punya kontribusi 13,09% terhadap PDB Indonesia.
Di sentra pangan, ada sekitar 28 juta pengusaha mikro di perdesaan yang bergerak di sektor pertanian, perikanan, dan peternakan, berkontribusi sekitar 12,9% terhadap PDB.
“Saya kira ini juga yang sedang dilakukan oleh Amartha dengan klaster-klaster usaha yang sedang dibangun di sejumlah daerah. Kalau kita lihat bangunan usaha besar, kenapa bisnisnya menjadi efisien? Karena memang dibangun dalam skala ekonomi yang memadai,” tuturnya.
Tantangan lain, usaha mikro kurang terencana, sehingga sulit naik kelas. Banyak usaha mikro juga belum memiliki nomor induk berusaha (NIB).
“Karena itulah pentingnya perluasan kolaborasi pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, dan masyarakat sipil, termasuk dalam hal memberi pendampingan pada pelaku usaha mikro,” tegas Riza.
Sementara, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Usaha dan Permodalan Kementerian Pariwisata, Hanifah mengatakan, pendampingan sangat dibutuhkan UMKM. Saat ini banyak pengusaha mikro belum paham mengelola keuangan, sehingga pendanaan yang diberikan tidak bisa maksimal mengembangkan bisnis mereka.
Pendampingan, juga penting bagi UMKM untuk mengakses pasar, meningkatkan kuantitas serta kualitas produk. “Jadi, yang paling perlu adalah pendampingan, termasuk memastikan produk mereka kualitasnya memenuhi apa yang diinginkan oleh pasar,” kata Hanifah.
Hasil pemaparan akan menjadi bagian dari agenda di acara The 2025 Asia Grassroots Forum hosted by Amartha, yang diselenggarakan di Bali pada 21-23 Mei 2025. Forum ini akan diikuti 1.000 peserta global, terdiri dari perwakilan pemerintah, pengusaha, startup, investor, akademisi, LSM serta inovator.
The 2025 Asia Grassroots Forum diharapkan dapat mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menguatkan dan memberdayakan komunitas akar rumput se-Asia.
Tingkatkan Daya Saing UMKM, Amartha Fasilitasi Perluasan Kolaborasi Lintas Sektor
