Jakarta, technology-indonesia.com – Mendung membuat suasana siang itu berasa sejuk. Rumah makan yang berlokasi di Selatan Ibu Kota masih nampak lengang. Tidak lama, satu persatu wakil media berdatangan memenuhi undangan bertemu jajaran pimpinan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Rabu (23/1/2019). Kehadiran Djarot Sulistio Wisnubroto agaknya tetap menarik kalangan media kendati baru saja merampungkan tugas sebagai Kepala Batan akhir tahun lalu.
Djarot Sulistio Wisnubroto menjabat sebagai Kepala BATAN sejak 2012. Sejak awal media menyoroti penampilannya yang berbeda dengan pejabat pemerintah umumnya. Tidak berkesan formal bahkan cenderung santai dalam menyampaikan hal penting menyangkut program. Pun gaya busana yang fashionable sehingga tampak serasi dan tidak membosankan dipandang.
Pertemuan kesekian kali dengan media kali ini agak berbeda. Djarot menyampaikan sedikit kekecewaan selama memangku jabatan sebagai Kepala BATAN (2012-2018). “Hingga saat ini, nuklir belum bisa diterima stakeholder pemerintah dan masyarakat,” ujarnya seraya menatap kalangan wartawan yang hadir.
Lebih lanjut, Djarot memaparkan pengalaman bertemu salah satu pejabat penting negeri untuk mencari dukungan meyakinkan Kementerian Pertanian menggunakan produk unggulan padi hasil riset BATAN. Namun, tidak membuahkan hasil.
Demikian pula, pimpinan di berbagai daerah, kata Djarot, tidak tegas dalam pengambilan keputusan terutama menyangkut Pembangkit Tenaga Listrik Nuklir (PLTN). Diketahui, pembangunan PLTN masih menjadi wacana kendati sudah capai tahap izin tapak. Mulai di Muria, Jawa Tengah, Bangka Belitung dan terakhir Kalimantan Barat. “Padahal pembangunan PLTN butuh waktu panjang hampir 8 tahun lamanya. Jika belum diputuskan dari sekarang, maka Indonesia belum mampu memiliki PLTN dan itu akan berdampak pada sumber energi di masa depan,” ujarnya.
Djarot bahkan pesimis, gaung Pilpres 2019 akan mengangkat isu nuklir. “Debat Capres lebih fokus program jangka pendek, sementara PLTN butuh waktu panjang. Bahkan mungkin timbul kekhawatiran menjadi isu yang sulit diterima masyarakat kendati dibutuhkan,” ujarnya
Namun, angin segar justru dihembuskan kalangan industri. PT Kimia Farma salah satunya, terjun memanfaatkan riset-riset BATAN bidang kesehatan. Perusahaan plat merah ini tercatat telah mengajukan registrasi dan mendapat nomor registrasi BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) untuk Kit radiofarmaka MDP (methylene diphosphonate) dengan kegunaan bone scan memeriksa adanya sebaran kanker di tulang, kit radiofarmaka MIBI (methoxyisobutylisonitrile) dengan kegunaan diagnosis perfusi jantung, kit radiofarmaka DTPA (diethylene triamine pentaacetic acid) dengan kegunaan diagnosis perfusi ginjal dan menilai GFR (glomerular filtration rate), Samarium-153 ethylenediamine tetra dengan kegunaan terapi paliatif kanker metastasis ke tulang dan Iodium-131 metaiodobenzyl guanidine dengan kegunaan diagnosis kanker neuroblastoma yakni kanker yang ditemukan pada anak-anak.
Senja mulai turun. Raut wajah Djarot seketika sumringah saat ditanya kesibukan setelah melepas jabatannya. “Kembali menjadi peneliti dan menulis buku (biografi),” ujarnya seraya tersenyum.
Di usia terbilang muda, pria kelahiran Yogyakarta, 1 Januari 1963 ini tercatat mampu menyabet gelar Doktor bidang teknik nuklir dari Universitas Tokyo, Jepang. Sementara gelar sarjana diperoleh dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Jabatan structural di BATAN mulai dirintis sebagai Kepala Bidang Teknologi dan Pengolahan Limbah Radio Aktif sejak 1999, hingga mencapai posisi sebagai Deputi Bidang Pengembangan Teknologi Daur Bahan Nuklir dan Rekayasa (2010-2012), dan akhirnya capai tampuk tertinggi sebagai Kepala BATAN.
Sementara sebagai peneliti, gelar tertinggi Profesor Riset (bidang teknologi nuklir) juga mampu diraih Djarot.
“Membangun presepsi positif memang tidak mudah, kendati produk rekayasa nuklir sejatinya sudah dinikmati dalam kehidupan masyarakat,” ujarnya menutup pembicaraan.