Jakarta – Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dapat diandalkan menjadi teknologi aksi atau tindakan dini (early action) setelah status bencana hidrometeorologi (kekeringan, banjir longsor, kebakaran hutan dan lain-lain) ditetapkan. Secara khusus untuk Karhutla, penerapan TMC sekaligus menjadi langkah untuk menekan laju jumlah emisi karbon.
Pernyataan tersebut disampaikan Tri Handoko Seto, Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBMTC) usai menghadiri “Multi-hazards Early Warning Conference – II“ di Jenewa, beberapa waktu lalu.
“Pemerintah harus hadir menyelamatkan atau membantu rakyat menghadapi bencana yang akan terjadi melalui tindakan atau aksi dini dengan memanfaatkan TMC,” ujar Tri Handoko Seto di Jakarta, Senin (27/5/2019).
Pertemuan Multi-hazards Early Warning Conference – II (MHEWC-II) di Jenewa, Swiss, membahas perkembangan Sistem Peringatan Dini Multi Bencana dengan Aksi Dini dan Impact-based Forecasting (Prakiraan berbasis Dampak – PBD).
Dalam pertemuan tersebut dibahas perubahan iklim dan kompleksitas dampaknya yang mengakibatkan munculnya kompleksitas bencana “baru”, seperti meteo-tsunami Haiyan di Filipina, meteo-tsunami di Spanyol dan Oman, Badai Tropis Cempaka, Dahlia, dan Lili di Indonesia. Termasuk dampak Badai Tropis Idai di Mozambique (4 Maret 2019) yang menelan korban hingga 1007 meninggal (532 di Mozambque dan sisanya di Zimbabwe).
Tri Handoko Seto menuturkan, saat ini BBTMC sudah memiliki berbagai teknologi deteksi dini bencana Hidrometeorologi, yaitu R-Rainbows atau Radar- Rainfall Observation for Early Warning System. Sistem Radar untuk meng-observasi dan monitoring curah hujan berfungsi sebagai peringatan dini bencana banjir. Juga dikembangkan SMOKIES, suatu sistem informasi secara near real time pengukuran tinggi muka air pada lahan gambut untuk memantau potensi kebakaran hutan. BBTMC juga telah berhasil mengembangkan aplikasi info cuaca berbasis percakapan (chat) yang mudah diakses masyarakat luas, dan lain sebagainya. “Teknologi tersebut menjadikan pelaksanaan hujan buatan lebih efektif dan akuntabel,” ujarnya.
Menurut Andi Eka Sakya, Perekayasa Ahli Utama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut, aksi dini (early action) berawal dari informasi peringatan dini. “Hal itu bernuansa sosial terkait masalah kesenjangan komunikasi antara bahasa teknis dan bahasa awam di tingkat masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, kata Andi, perlu ditekankan pada hal teknis dan terintegrasi dengan berbagai aspek, mulai data parameter alam, lingkungan dan kerentanannya. “Dibutuhkan diproses dengan cepat dan akurat, dan disebarluaskan dalam bahasa atau gambar yang mendukung aksi dini tersebut,” ujarnya.
Disisi lain, negara-negara peserta pertemuan juga memandang penting integrasi sistem peringatan dini hidrometeorologis dan geologis kedalam Sistem Peringatan Dini Multi Bencana (SPDMB).
“Argumentasi pada sisi ini menjadi menarik manakala banyak peserta merujuk pada kasus tsunami Palu dan Selat Sunda, karena polanya yang tidak lazim, kedatangan gelombangnya sangat cepat dan mematikan. Sehingga para pihak menyetujui perlunya sistem pengamatan menyeluruh, baik terhadap parameter cuaca atau iklim, hingga kondisi kemiringan wilayah, kondisi vegetasi, dan lain sebagainya untuk mendukung PBD-PBR atau Prakiraan Berbasis Dampak- Peringatan Dini Berbasis Risiko,” paparnya.
Dalam pertemuan tersebut, hadir pula dari wakil Bank Dunia yang membagikan hasil analisis sosio-ekonomi proyek-proyek pembangunan SPDBM di seluruh dunia, terutama negara berkembang dan negara berkembang kepulauan kecil.
Dari sisi ekonomi, Bank Dunia memandang pendanaan pembangunan SPDBM perlu dilihat sebagai investasi. Selain itu, untuk setiap 1 $ investasi SPDBM dapat menyelamatkan 5 sd 8 US$. “Belajar dari Bank Dunia, investasi SPDBM memberi dampak positif dan menguntungkan, baik dari ketahanan masyarakat, sosial, bahkan ekonomi produktif,” ungkap Andi Eka Sakya.