Jakarta, Technology-Indonesia.com – Pemerintah beberapa kali memanfaatkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) atau sering disebut hujan buatan untuk mencegah potensi cuaca ekstrem. Operasi TMC dilakukan untuk mengalihkan kejadian hujan yang seharusnya secara alami turun di daerah target.
Koordinator Laboratorium TMC, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Budi Harsoyo dalam laman brin.go.id menjelaskan pelaksanaan TMC memiliki dua metode yaitu wahana darat melalui menara Ground-Based Generator (GBG) menggunakan flare, serta wahana udara pesawat menggunakan powder dan flare.
Metode penyemaian awan dari darat menggunakan wahana GBG dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada pemakaian pesawat terbang dalam operasional TMC.
Harsoyo menerangkan ada beberapa kelebihan dan keterbatasan metode penyemaian awan dari darat dengan wahana menara GBG antara lain: biaya operasional relatif lebih murah, beroperasi selama 24 jam nonstop, dan dapat dioperasikan dari jarak jauh.
“Keterbatasan metode GBG adalah karena sifatnya yang statis, metode ini hanya bisa menunggu awan potensial yang melintas persis di atas Menara GBG,” ungkap Harsoyo dalam acara BRIN Insight Every Friday (BRIEF) pada Jumat (3/2/2023).
Harsoyo mengatakan bahwa TMC sering disebut sebagian orang sebagai hujan buatan. Menurutnya, hal tersebut kurang pas, karena TMC hanya bertugas men-trigger potensi hujan yang ada secara alami di awan, sehingga hujannya bisa dikondisikan apakah ingin dijatuhkan di tempat tertentu untuk menambah curah hujan atau sebalikannya.
“Apabila diminta untuk menambah curah hujan tetapi potensi awannya tidak ada, maka TMC tidak bisa melakukan apa-apa. Karena itu istilah hujan buatan kurang tepat,” terangnya.
Harsoyo menyebutkan, TMC telah dilakukan sejak tahun 1977. Ide itu muncul saat Presiden Soeharto melihat pertanian di Thailand cukup maju. Setelah diamati, majunya pertanian Thailand disebabkan karena supply kebutuhan air pertanian dibantu oleh modifikasi cuaca.
Presiden Soeharto lalu mengutus BJ Habibie untuk mempelajari TMC. Selanjutnya dimulai proyek percobaan hujan buatan yang waktu itu masih didampingi asistensi dari Thailand. Pengaplikasian TMC ketika itu hanya berfokus untuk mendukung sektor pertanian dengan cara mengisi waduk-waduk strategis baik untuk kebutuhan PLTA atau irigasi.
Pelaksanaan TMC di Indonesia terbagi menjadi beberapa macam yaitu menambah intensitas curah hujan seperti PLTA mengisi waduk untuk listrik, irigasi pertanian, menangani becana karhutla membasahi lahan gambut; mengurangi intensitas curah hujan, biasanya diminta untuk mengamankan event kenegaraan, untuk antisipasi dan mitigasi bencana banjir atau kebutuhan pertambangan dan yang terakhir penipisan kabut asap karhutla.
Karena berbagai keberhasilan kegiatan TMC, lanjut Harsoyo, BRIN perlu memperkuat TMC terutama dalam melayani private sector yang nantinya akan diberi peran sebagai pelaksana dalam pengisian waduk, karena pada saat ini TMC tidak bisa memenuhi semua permintaan pengelola waduk yang meminta layanan TMC.
“Ke depannya TMC akan menjadi seperti apa masih diolah, intinya TMC masih tetap perlu ada dan perlu kolaborasi dengan berbagai Kementerian/Lembaga, BRIN dalam risetnya, BMKG dalam teknisnya, TNI AU dalam support armadanya,” tutupnya.