Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kemarau panjang yang telah berlangsung selama beberapa bulan di Indonesia mulai menimbulkan dampak signifikan di sejumlah wilayah. Beberapa daerah mengalami kekeringan, bahkan beberapa daerah mengalami gagal panen.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau akan berlanjut hingga November 2023. El Nino, fenomena yang meningkatkan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, menjadi penyebab utama kemarau yang melanda Indonesia.
Akibat dari kemarau panjang ini, sejumlah wilayah di Indonesia mengalami kekurangan pasokan air untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk air minum, sanitasi, dan pertanian. Karena itu, upaya untuk mengatasi tantangan cuaca ekstrem menjadi semakin penting.
Teknologi modifikasi cuaca (TMC) telah menjadi sorotan utama dalam mengatasi dampak kemarau panjang. Kemarau yang sering menimpa wilayah tertentu dapat memiliki dampak serius terhadap pertanian, sumber daya air, dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Karena itu, berbagai negara dan organisasi telah memandang teknologi modifikasi cuaca sebagai solusi inovatif untuk mengatasi dampak negatif dari cuaca ekstrem ini.
Koordinator Laboratorium TMC Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Harsoyo, dalam wawancara khusus, mengungkapkan bahwa TMC telah diimplementasikan beberapa kali di wilayah Jakarta untuk mengantisipasi dampak negatif dari cuaca ekstrem.
TMC digunakan untuk redistribusi curah hujan guna mengantisipasi cuaca ekstrem dalam bentuk curah hujan tinggi yang dapat menyebabkan banjir.
Berdasarkan catatan TMC, teknologi ini telah diimplementasikan di Jakarta sebanyak enam kali, termasuk pada tahun 2023. Selain itu, TMC juga dimanfaatkan untuk mengatasi masalah polusi udara akibat cuaca ekstrem kekeringan sebagai dampak El Nino.
Pada periode 19 Agustus – 10 September 2023, TMC digunakan untuk memicu terjadinya hujan yang dapat memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
“TMC sudah beberapa kali diimplementasikan di wilayah Jakarta untuk mengantisipasi dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari cuaca ekstrim. Pertama, untuk tujuan redistribusi curah hujan sebagai upaya untuk mengantisipasi antisipasi cuaca ekstrem dalam bentuk curah hujan tinggi yang dapat mengakibatkan banjir,” ujar Budi pada Kamis (19/10/2023).
Salah satu metode modifikasi cuaca yang banyak dibahas adalah penggunaan pesawat atau drone yang membawa senyawa kimia seperti iodida perak ke atmosfer. Senyawa ini dapat merangsang pembentukan awan dan hujan, mengubah pola cuaca yang ekstrem.
Penerapan teknologi ini dianggap sebagai langkah proaktif dalam menghadapi kemarau panjang yang dapat merugikan sektor pertanian dan ketersediaan air.
Langkah-langkah modifikasi cuaca juga mencakup teknik pemancaran panas dari permukaan laut, yang dapat mempengaruhi pola angin dan membentuk awan-awan hujan. Meskipun kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut terkait dampak lingkungan, beberapa negara telah menguji teknologi ini sebagai alternatif dalam menghadapi tantangan cuaca ekstrem.
Budi menekankan pentingnya kerjasama lintas sektoral antar berbagai stakeholder terkait dalam mengoptimalkan TMC untuk mengatasi cuaca ekstrem di Jakarta. Prediksi cuaca BMKG memberikan “early warning” akan munculnya fenomena cuaca ekstrem di suatu daerah, yang kemudian digunakan oleh BNPB dan Pemerintah Daerah setempat sebagai bahan pertimbangan dalam mencari solusi antisipatif dengan memanfaatkan TMC.
Hasilnya telah memberikan dampak positif bagi masyarakat dengan mengurangi potensi kerugian akibat bencana yang dapat dihindari, dan sejauh ini tidak ada dampak negatif yang tercatat dari penerapan TMC di Jakarta.