Jakarta, Technology-Indonesia.com – Curah hujan ekstrem pada awal tahun 2020 menjadi salah satu pemicu banjir di Jakarta dan sekitarnya. Untuk mencegah banjir di Jabodetabek, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk meminimalisir curah hujan lebat.
“Pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca untuk meminimalisir dampak bencana banjir di Jabodetabek dengan mengupayakan redistribusi curah hujan dengan cara mengurangi intensitas hujan yang turun di wilayah Jabodetabek,” kata Kepala BPPT, Hammam Riza saat peresmian penerapan TMC di Gedung BPPT, Jakarta (3/1/2020).
Upaya ini, lanjutnya, dilakukan dengan menjatuhkan hujan di daerah-daerah yang aman seperti di Selat Sunda dan Laut Jawa. Modifikasi cuaca dilakukan menggunakan garam yang dibawa oleh dua pesawat TNI AU yaitu Jenis CASA 212-200 dan CN-295 dari Lanud Halim Pedanakusuma, Jakarta. Garam tersebut akan disemaikan ke dalam awan-awan sehingga hujan turun di wilayah yang aman.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (Menristek/BRIN) Bambang Brodjonegoro berharap misi yang tidak mudah ini bisa berjalan dengan baik dan sukses sehingga mampu mengurangi intensitas hujan terutama di daerah padat penduduk seperti Jabodetabek.
Melalui TMC, lanjutnya, pergerakan awan yang menuju Jabodetabek khususnya yang masih berada di atas Laut Jawa atau Selat Sunda bisa turunkan menjadi hujan di lautan sehingga tidak berpotensi menimbulkan bencana maupun korban jiwa. “Ini merupakan salah satu kontribusi dari komunitas Ristek/BRIN yaitu bagaimana kita memanfaatkan teknologi untuk membantu mengurangi dampak dari bencana yang mungkin terjadi,” terangnya.
Pada kesempatan tersebut, Bambang mengingatkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan risiko bencana yang tinggi. Indonesia memiliki dua musim yang setiap musim memiliki potensi bencana terkait hidrometeorologi. Di musim penghujan ada bencana banjir, sementara di musim kemarau ada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang mengancam. “Karena itu kita tetap harus menyiapkan diri, salah satunya dengan teknologi modifikasi cuaca,” tuturnya.
Ketika terjadi Karhutla, cara alamiah untuk mengatasinya adalah dengan hujan. Karena itu, jika hujan belum ada, maka peran teknologi melalui modifikasi cuaca yang membuat awan yang tadinya tidak berpotensi hujan bisa menurunkan hujan sehingga meredam hotspot maupun kebakaran hutan.
Manfaat TMC untuk mengurangi Karhutla juga dirasakan oleh Kepala BNPB Doni Monardo. Melalui TMC, karhutla yang terjadi di daerah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimanan Selatan bisa berkurang.
Terkait banjir di Jabodetabek, Doni berharap bisa mengurangi 30-40% intensitas curah hujan. “Namun berkurang 20% saja sudah sudah sangat membantu, sehingga luapan air tidak sampai ke darat, cukup sampai di sungai saja,” lanjutnya.
Doni berpesan agar para personel yang melaksanakan tugas modifikasi cuaca untuk tetap memperhatikan keselamatan dan tidak berusaha untuk memaksakan diri.
Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BB TMC) BPPT, Tri Handoko Seto memperkirakan Operasi TMC bisa mengurangi curah hujan di Jabodetabek 30-40%. Untuk itu pihaknya menyiapkan sekitar 6-8 ton garam per hari. “Targetnya hari ini 4 sortie berangkat dari Lanud Halim Perdanakusuma. Diperkirakan satu hari 4 sortie, jika diperlukan lebih, pesawat dan crew siap melaksanakan operasi TMC,” ungkapnya.
Selain persiapan peralatan, pesawat, dan personel untuk operasi TMC, prediksi dan pengamatan cuaca serta awan juga dilakukan selama operasi TMC. “Saat terbang kita berupaya agar garam bisa masuk ke dalam awan, bisa ke bagian pinggir atau masuk ke tengah jika tidak berbahaya. Kalau berbahaya bisa dari samping, dibantu angin garam bisa masuk awan,” terang Seto.
Menurutnya, penggunaan berton-ton garam tidak berpengaruh terhadap kualitas air. Pihaknya sudah melakukan uji laboratorium terhadap air hujan hasil TMC yang hasilnya tidak ada perubahan kualitas yang signifikan. “Teknologi modifikasi cuaca sudah banyak digunakan di berbagai negara, namun untuk pengurangan curah hujan baru dilaksanakan di Indonesia,” pungkasnya.