Jakarta – Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBTMC-BPPT) Tri Handoko Seto mengatakan, secara institusi, BBTMC-BPPT hanya menyiapkan teknologi dan SDM, sedangkan untuk penentuan kapan operasional TMC diserahkan pada para pengguna.
Hal itu disampaikan terkait status siaga darurat di beberapa provinsi dan kabupaten yang dilanda kebakaran hutan dan lahan saat ini. “Dalam rapat koordinasi kemarin, Kemenko PMK melalui Deputi Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Dampak Bencana akan mendorong BNPB untuk segerakan pelaksanaan TMC di daerah-daerah status siaga darurat,” ujar Tri Handoko Seto di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Rapat Koordinasi Sinergitas Peran Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penanggulangan bencana Karhutla di Riau beberapa waktu lalu, merekomendasikan TMC di 4 Provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Sementara TMC di Provinsi Riau diusulkan diperpanjang hingga akhir September 2019 bersamaan dengan akhir musim kemarau tahun ini yang jatuh pada September.
Menurut Tri Handoko Seto, operasi TMC paling efektif untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan harus dilakukan sebelum terjadinya kebakaran hutan dan lahan untuk mengisi kanal atau sekat di lahan gambut. “Jika sudah terjadi kebakaran hutan dan lahan maka partikel asap dari kebakaran tersebut dapat mengganggu terjadinya hujan atau pertumbuhan awan. Sehingga diperlukan perlakuan khusus agar pertumbuhan awan yang berpotensi hujan tidak terganggu oleh asap dari kebakaran hutan dan lahan,” paparnya.
Fungsi sekat atau kanal, lanjut Seto, digunakan untuk menahan air dalam lahan gambut untuk mencegah lahan terbakar. “Namun diperlukan cadangan air yang kontinyu. Salah satu upayanya dengan mengisi air pada sekat atau kanal lahan dengan menggunakan metode TMC,” paparnya.
Menurut Sutrisno, Kepala Bidang Pelayanan Kebutuhan Teknologi Modifikasi Cuaca BBTMC-BPPT, bahan semai yang digunakan untuk TMC dalam penanganan karhutla yaitu bahan semai bubuk (NaCl) dan flare. “Kedua bahan semai ini sudah digunakan dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau tahun ini,” ujarnya.
Teknologi flare, kata Sutrisno, merupakan teknologi baru yang digunakan untuk melakukan penyemaian awan dan beratnya (flare) cukup ringan , yaitu sekitar satu kg perbatang. “Perbandingan 1-2 batang flare akan memberikan dampak yang kurang lebih sama dengan 1 ton NaCl,” ujarnya.
Sementara prediksi terjadinya hujan setelah dilakukan penyemaian awan, papar Sutrisno, tergantung dari keakuratan data yang digunakan pada saat kegiatan TMC. “Untuk mendapatkan prediksi yang akurat diperlukan peralatan dan teknologi yang akurat juga tentunya,” ujarnya. Disisi lain, lanjut Sutrisno, dampak operasi TMC juga bergantung dari karakteristik awan yang akan disemai sehingga diperlukan analisis karakteristik awan sebelum dilakukan penyemaian. “Analisis diperlukan agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diharapkan setelah dilakukan penyemaian, misalnya angin kencang,” ujarnya