Pentingnya Membangun Tata Ruang Berbasis Risiko Bencana

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Musibah tsunami yang melanda Selat Sunda (22/12/2018) menambah panjang kejadian bencana alam di Indonesia selama 2018. Hingga Desember 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 1.245 kejadian bencana alam. Bencana yang paling banyak terjadi adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan puting beliung, serta bencana geologi seperti gempa dan tsunami.

Menyikapi bencana yang frekuensinya terus meningkat, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah melakukan serangkaian riset serta kajian untuk pengembangan teknologi mitigasi bencana dan pendidikan siaga bencana.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto mengatakan, pengurangan risiko bencana harus dipahami dan diimplementasikan oleh semua pihak dalam kerangka kerja yang komprehensif baik dari aspek teknologi, pendidikan siaga bencana, hingga kebijakan. Eko menekankan agar kejadian bencana gampa dan tsunami di Indonesia menjadi pembelajaran dalam upaya pengurangan risiko bencana.

“Presiden sudah meminta revitalisasi sistem peringatan dini tsunami. Namun kita harus melihat ada daerah-daerah seperti Lombok yang jarak dari sumber tsunami ke daratannya pendek sehingga waktu untuk menyelamatkan diri menjadi lebih pendek,” ujar Eko dalam Media Briefing di Jakarta pada Rabu (2/1/2019).

Menurutnya, respon terhadap ancaman tsunami didasarkan pada pemahaman keliru terhadap tanda gempa besar dan lead-time tsunami. Lead-time tsunami di pulau Pagai, misalnya, dipersepsikan sama dengan pulau Jawa dan Sumatera.

“Gempa besar yang dapat memicu tsunami dipersepsikan sebagai gempa yang guncangannya terasa kuat. Belum dipahami bahwa gempa yang guncangannya lemah namun lama atau lebih dari 60 detik juga menjadi tanda gempa besar yang dapat memicu tsunami,” terangnya.

Memahami gempa besar pemicu tsunami berbasis lama guncangan, menurut Eko, lebih efektif daripada berdasarkan kuat lemahnya guncangan. Karena itu, saat ini LIPI sedang mengembangkan metode dan teknologi khusus untuk mengetahui lama guncangan gempa.

Lebih lanjut Eko menerangkan, dalam upaya pengurangan risiko bencana, kita tidak bisa mengantungkan pada semata-mata satu cara, namun beberapa cara seperti peringatan dini, tata ruang, sikap yang baik dari masyarakat, dan aspek-aspek lain.

Terkait pengurangan risiko bencana, satu hal yang masih menjadi persoalan sampai sekarang yaitu tata ruang. “Meskipun kita sudah memiliki Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang tata ruang dimana kita mendorong diwujudkannya rencana tata ruang wilayah berbasis risiko bencana, tapi selama ini belum diimplementasikan dengan baik,” tuturnya.

Eko menjelaskan, hotel dan hunian penduduk di wilayah-wilayah yang terdampak tsunami Selat Sunda seperti Carita dan Anyer nyaris berada di bibir pantai. Idealnya, ada garis sempadan sejauh 300 meter dari bibir pantai untuk perlindungan jika ada gelombang tinggi.

Ia menyatakan perlu peran aktif semua pihak serta ketegasan pemerintah dalam mengatur tata ruang wilayah pantai. Aspek penting di Palu dan Selat Sunda, terangnya, adalah tata ruang yang tidak dijaga. Sebaik apapun teknologi peringatan dini, kalau tata ruang tidak diperbaiki tidak akan efektif.

“Jadi pada konteks bencana yang kita alami, kita mendapat pelajaran bahwa membangun tata ruang berbasis risiko bencana menjadi aspek yang sangat penting selain teknologi peringatan dini,” tegasnya.

Pembelajaran lain dari bencana gempa dan tsunami yang melanda Indonesia adalah pengetahuan tradisional berperan dalam penyelamatan terhadap ancaman tsunami. Untuk pihaknya merekomendasikan agar pengetahuan tradisional terkait bencana perlu dihidupkan kembali setelah direvitalisasi. Selain itu, pendidikan publik atas ancaman tsunami harus berbasis karakteristik risiko yang bersifat lokal, bukan karakteristik umum.

Rekomendasi lainnya adalah, di wilayah dengan lead-time tsunami pendek, evakuasi mandiri berbasis guncangan gempa harus dijadikan standar penyelamatan diri dari ancaman tsunami. Wilayah Indonesia dengan lead-time tsunami pendek (<10 menit) antara lain pulau-pulau sebelah barat Sumatera, pantai barat-pantai utara Sulawesi, pantai utara Bali-NTB-NTT, pantai selatan Timor Barat, serta pantai-pantai Maluku-Maluku Utara dan Papua bagian barat dan utara.

“Dengan demikian, informasi tentang wilayah dengan lead-time tsunami pendek adalah hal mendasar yang harus ada di dalam materi pendidikan publik terhadap ancaman tsunami,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author