Jakarta, Technology-Indonesia.com – Fenomena amblesnya Jalan Raya Gubeng, Surabaya sempat disinyalir merupakan dampak kejadian sinkhole atau lubang runtuhan. Kajian Tim Pusat Teknologi Reduksi Resiko Bencana (PTRRB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengungkapkan amblesnya Jalan Raya Gubeng tepatnya merupakan kejadian kolaps, bukan sinkhole.
Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT, Hammam Riza meluruskan bahwa musibah ambles Jalan Raya Gubeng, bukanlah sinkhole melainkan kejadian kolaps. Kolaps atau pembentukan semacam sinkhole terangnya, disebabkan bermacam faktor.
“Jadi ini ambles itu karena kolaps ya, bukan seperti di media sosial beredar terjadi sinkhole,” tegasnya melalui pesan instan di Jakarta, Senin, (24/12/2018).
Kolaps diuraikan Deputi Hammam, dapat disebabkan adanya aktivitas alam, maupun manusia. Kalau dilihat dari aktivitas alam, daerah yang memungkinkan terjadi sinkhole bisa terjadi di daerah yang karst seperti di daerah batu gamping. Daerah tersebut imbuhnya, memungkinkan terjadi sinkhole atau membentuk rongga kemudian aliran air bawah tanah dan akhirnya ambles.
“Sementara di wilayah Surabaya, secara geologis merupakan endapan aluvial sungai, dari batuan pasir dan material batu-batuan lain yang secara teoritis daerah itu tidak mungkin membentuk sinkhole,” jelasnya.
Hammam menerangkan, secara geologis, pihaknya tidak menemukan adanya aktivitas patahan di bawah tanah, yang berpotensi menyebabkan amblesnya jalan. “Tim BPPT yang survei di lapangan, tidak melihat adanya aktivitas patahan. Pantauan kami, secara geologis tidak ada,” ujarnya.
Hasil kajian Tim PTRRB BPPT menemukan adanya retakan baru dan lama, di sekitar amblesnya Jalan Raya Gubeng. “Tim yang ada sudah lakukan pengamatan, di areal sisi barat ada temuan retak-retakan baru dan lama. Hal itu menyebabkan lokasi ambles memang sangat rawan terjadi longsor, apalagi kalau dilakukan aktivitas di atasnya,” urainya.
Lebih lanjut disebut Hammam bahwa survei juga menyimpulkan bahwa muka air tanah cukup dangkal, sekitar 2 meter. “Jadi ada aliran yang cukup kuat saat pembangunan di situ dan menekan dinding penahan dengan membawa matetial tanah. Inilah yang menjadi acuan bahwa lubang tersebut tidak memenuhi kriteria disebut sebagai sinkhole,” tambahnya.
Hammam merujuk bahwa bencana dapat diantisipasi melalui kajian teknologi. BPPT katanya, memiliki laboratorium kebencanaan, yang menjadi aset pemerintah dalam melakukan mitigasi bencana. Seperti bencana di Anyer, BPPT sebutnya siap untuk membangun fasilitas alat deteksi tsunami. Hanya saja hingga kini pihaknya menunggu dukungan dan sinergi dari pemangku kepentingan terkait.
“Baik bencana ambles di Gubeng, serta tsunami anyer, maupun bencana lainnya, kita harus siap mengantisipasi dari sisi teknologi. BPPT siap jika ditunjuk untuk mendukung kaji terap teknologi untuk mitigasi bencana,” tuturnya.
Sebagai informasi, ada dua peralatan geofisika yang ada di BPPT yang dapat digunakan untuk membantu subsurface mapping kondisi amblasan gubeng. Peralatan pertama, GPR, main unit ada di PTPSW, antenna ada di PTPSM (900 MHZ dan 200 MHZ) dan antenna 600 MHZ (PTPSW). Untuk kasus ini direkomendasikan antenna 200 MHZ (kedalaman max 12 m) dan 600 MHZ (kedalaman max 3 m). GPR aquisisi data lebih cepat dan tidak masalah ada beton di permukaannya. Jadi bisa untuk deteksi pondasi, rongga dan lain-lain dengan kedalaman max 12 m.
Peralatan kedua, Electrical Resistivity Tomography (ERT), target kedalam dapat diset sesuai keinginan, menggambarkan kondisi bawah permukaan cukup baik dengan adanya distribusi tahanan jenis. Peralatan ada di Deputi TPSA BPPT yakni pada unit kerja PTRRB, Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Wilayah (PTPSW) dan Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Mineral (PTPSM).
Kelebihan ERT dapat memetakan distribusi clay di bawah permukaan lebih baik dari GPR, dimana clay seeing menjadi media litologi penyebab settlement atau longsoran.