14 Tahun Tsunami Aceh, Indonesia Harus Perkuat Teknologi Deteksi Dini Tsunami

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Peristiwa tsunami yang melanda Aceh 14 tahun lalu hingga bencana di Lombok, Palu, dan Anyer pada 2018, menyadarkan betapa pentingnya Indonesia untuk segera membangun fasilitas teknologi deteksi dini tsunami. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) siap untuk membangun fasilitas teknologi deteksi dini tsunami, berupa Buoy atau kabel bawah laut (Cable Based Tsunameter).

Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT, Hammam Riza mengatakan hal tersebut saat sesi wawancara di Jakarta, Rabu (26/12/2018).

Terpaan berulang kali musibah tsunami di Indonesia, kata Deputi TPSA, membuat para perekayasa BPPT mencari solusi teknologi terbaik sebagai peringatan dini tsunami. Diakui olehnya, Indonesia sempat menggunakan teknologi Buoy sebagai alat pendeteksi dini bencana tsunami.

“Saat itu memang BPPT dilibatkan bersama instansi pemerintah lainnya, dalam melakukan deployment Buoy ke Samudera Indonesia untuk dipasang di beberapa titik. Saat ini Buoy di Indonesia sudah tidak ada karena perilaku vandalisme yang dilakukan oknum,” ungkapnya.

Meski begitu ditegaskan Deputi Hammam, pihaknya siap untuk membuat fasilitas Buoy kembali jika diperlukan. “BPPT saat itu juga ditunjuk langsung dalam membangun Buoy pendeteksi tsunami. Saat ini kami pun siap jika ditunjuk untuk membuatnya lagi,” katanya.

Ditegaskan olehnya, keberadaan Buoy dinilai penting dalam guna mengirimkan sinyal terkini ketika ada gelombang tinggi di tengah laut yang diduga berpotensi menjadi tsunami muncul.

“Buoy terus menerus mengirimkan sinyal ke pusat monitoring secara real time, jika ada gelombang yang melewatinya. Semakin tinggi dan kencang gelombang, maka sinyal yang dikirim frekuensi-nya akan semakin rapat dan bisa berkali-kali dalam hitungan detik,” rincinya.

Hal inilah yang dapat menjadi dasar untuk mewaspadai serta mendukung kesiapsiagaan bencana. Adanya langkah mitigasi, imbuhnya, sangat penting bagi masyarakat atau penduduk yang bermukim di wilayah yang rentan terhadap terpaan bencana.

“Masyarakat di wilayah berpotensi bencana, khususnya tsunami harus memiliki waktu evakuasi yang cukup. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang mampu mendeteksi dini atau early warning system, baik untuk tsunami maupun bencana lainnya,” kata Hammam.

Selain membangun fasilitas Buoy, BPPT disebut Hammam menawarkan teknologi Cable Based Tsunameter atau CBT untuk melengkapi keberadaan Buoy. “Teknologi CBT itu sebenarnya sudah digunakan oleh negara Jepang. Di sana sudah berjalan dan mampu mendeteksi tsunami dengan baik juga,” ujarnya.

Namun, perlu ditekankan bahwa kedua peralatan itu baik CBT dan Buoy, saling melengkapi, baik fungsi dan kegunaannya. “Sifat keduanya adalah saling melengkapi, sehingga hasil deteksi dini yang menjadi parameternya, menjadi semakin presisi dan akurat,” paparnya.

Terkait pembangunan CBT, Hammam menggagas sistem CBT dapat menjadi program nasional, seiring adanya program sistem komunikasi kabel laut broadband network Palapa Ring, yang dilakukan Kementerian Kominfo.

“CBT ini merupakan kabel bawah laut yang dilengkapi sensor untuk mengukur perubahan tekanan dalam laut yang ekstrem, yang mengindikasikan tsunami. Sensor lalu akan mengirimkan data melalui satelit kepada pusat penerima data,” jelasnya.

Lebih lanjut Deputi Hammam juga menyatakan kalau proses pembuatan fasilitas CBT, menghabiskan biaya yang lebih mahal dari pembuatan Buoy.

“Jika dibandingkan dari biaya, pembuatan Buoy bisa menghabiskan miliaran, CBT mencapai triliunan. Dari aspek perawatannya CBT lebih murah, Buoy akan lebih mahal. Dari waktu pembangunan, Buoy lebih cepat bisa hitungan bulan, CBT akan lebih lama bisa tahunan. Ini hitung-hitungan kalau buat baru ya,” rincinya.

Kendala pembangunan CBT menurut Hammam adalah belum seluruh wilayah Indonesia memiliki jaringan kabel bawah laut Palapa Ring. Untuk itu, Hammam memberi saran agar pembangunan BUOY juga tetap dilakukan untuk di beberapa titik.

“Jadi pembangunan CBT harus kita sadari belum tentu bisa meng-cover semuanya, karena Palapa Ring juga belum meng-cover seluruh wilayah di Indonesia. Jadi, mau tidak mau pembangunan Buoy tetap harus dilakukan. Tinggal kita lengkapi dengan GPS dan dapat diawasi titik deployment nya oleh TNI maupun Polri di perairan lepas,” sarannya.

Rentetan bencana yang melanda Indonesia membutuhkan sinergi antar pemangku kepentingan, yang juga diperkuat dengan adanya solusi dari sisi teknologi. Untuk itu Hammam berharap pemangku kepentingan terkait dapat segera ambil keputusan dalam membangun fasilitas deteksi dini tsunami.

“Membangun Buoy maupun kabel bawah laut, BPPT siap jika ditunjuk. Indonesia harus mandiri dalam hal membangun kesiapsiagaan bencana, dengan teknologi yang bisa dibangun di negeri sendiri,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author