Kepala Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama BIG, Wiwin Ambarwulan dalam acara Media Briefing Indonesian Peat Prize di Jakarta (25/1/2018)
Jakarta, Technology-Indonesia.com – Peta gambut di Indonesia masih sangat minim, data dan informasi kurang baru, serta skalanya kecil. Peta yang ada belum cukup menjawab isu-isu isu-isu pengelolaan gambut di tingkat tapak yang membutuhkan data/informasi lebih detil.
Kepala Pusat Penelitian, Promosi dan Kerja Sama Badan Informasi Geospasial (BIG), Wiwin Ambarwulan mengatakan minim dan kurang barunya data dan informasi di peta gambut bisa berdampak memperlambat pelaksanaan restorasi di lapangan dan menyulitkan koordinasi dengan pemilik lahan karena data dan informasi gambut di peta tersebut dinilai tidak lagi sesuai dengan keadaan saat ini.
“Dampak lainnya, kurang tajamnya arahan pemerintah kepada pemilik lahan terkait tindakan restorasi seperti pembasahan kembali dan penanaman kembali yang harus dilakukan,” kata Wiwin saat membuka Media Briefing Indonesian Peat Prize di Jakarta, pada Kamis (25/1/2018).
Menurut Wiwin ada sekitar 10 peta gambut yang dibuat oleh instansi maupun individu. Peta gambut skala kecil pernah dipakai untuk program perencanaan fisik regional untuk transmigrasi pada 1989, Wetlands International pada 2004, dan Kementerian Pertanian pada 2011.
“Luasan dan ketebalan gambut dapat berubah seiring waktu akibat aktivitas di lahan gambut, seperti pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Peta gambut adalah kunci atas perlindungan dan pengelolaan gambut terdegradasi secara lebih efektif,” lanjutnya.
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami kebakaran lahan dan hutan akibat alih fungsi lahan gambut. Kebakaran terbesar terjadi pada 2015 yang menghasilkan 2,57 gigaton karbon, setara emisi yang dihasilkan 2.500 pabrik batu bara pertahun. Kebakaran ini menimbulkan kerugian sekitar Rp 221 triliun. Karena itu, Presiden Joko Widodo mencanangkan perlindungan dan pengelolaan gambut sebagai salah satu strategi andalan untuk mengurangi emisi karbon Indonesia.
Perlindungan gambut harus diutamakan karena gambut sangat kaya karbon, yang jika dilepaskan ke udara akan menyebabkan perubahan iklim. Langkah krusial yang pertama harus dilakukan untuk melindungi gambut adalah memetakan gambut, termasuk lokasi, luasan, ketebalan, dan tata airnya. Berbagai informasi ini bermanfaat untuk mengidentifikasi area gambut yang harus dikonservasi dan direstorasi untuk mengelola lahan gambut secara berkelanjutan serta area yang dapat dibudidayakan.
Menanggapi isu yang mendesak ini, Pemerintah Indonesia melalui BIG dengan dukungan David and Lucile Packard Foundation, WRI Indonesia, dan Context Partners meluncurkan Indonesian Peat Prize pada 2 Februari 2016. “Kompetisi ini merupakan inisiatif kolaboratif untuk menemukan metode pemetaan lahan gambut yang paling akurat, cepat, dan terjangkau,” terang Wiwin.
Kompetisi Pemetaan Gambut Indonesia ini terbuka untuk umum baik dari nasional maupun internasional. Peserta dapat berasal dari peneliti di lembaga akademis/universitas, LSM/CSO peminatan pemetaan dan lingkungan, mahasiswa, konsultan pemetaan dan lingkungan, maupun perusahaan. Untuk peserta internasional harus memiliki mitra dari peserta Indonesia
Setelah dua tahun kompetisi ini berlangsung, ada 44 tim yang mengajukan aplikasi dan telah terpilih lima tim finalis. Pengumuman pemenang Indonesian Peat Prize akan dilaksanakan pada 2 Februari 2018, bertepatan dengan peringatan Hari Lahan basah Sedunia. Tim pemenang akan mendapatkan hadiah US$ 1 juta atau sekitar Rp 13 miliar.
Artikel terkait : Inilah Lima Tim Finalis Indonesian Peat Prize