BRIN Fasilitasi Pengembangbiakan Burung Paruh Bengkok di Cibinong

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Penelitian mengenai burung paruh bengkok masih jarang dilakukan. Burung tersebut cukup sulit didapatkan karena tidak dijual di pasaran. Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus membuka kerja sama riset pengembangbiakan burung paruh bengkok dengan berbagai pihak, termasuk dengan pihak swasta.

Melalui Pusat Riset Zoologi Terapan, Organisasi Riset (OR) Hayati dan Lingkungan, BRIN menjalin kerja sama riset pengembangbiakan burung paruh bengkok Nektarivora (Marga Eos dan Trichoglossus) dengan CV. Pasundan di Penangkaran Cibinong Science Center BRIN.

Kerja sama ditandai dengan penandatanganan langsung antara Kepala Pusat Riset (PR) Zoologi Terapan BRIN dengan Direktur CV. Pasundan di Cibinong, pada Kamis (28/7/2022).

Siti Nuramaliati Prijono, penanggung jawab kerja sama sekaligus Peneliti Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN menjelaskan,“Burung paruh bengkok termasuk burung yang dilindungi. Ada kurang lebih 85 jenis burung paruh bengkok dan semua jenis sudah dilindungi. Informasi biologi tentang burung inipun sangat minim. Untuk mengetahui pakannya kita perlu penelitian.”

Ada 3 kelompok burung paruh bengkok, yaitu pemakan biji, pemakan buah dan pemakan nektar. Burung paruh bengkok pemakan biji lebih survive dibandingkan pemakan nektar. “Kami memilih yang pemakan nektar, karena tantangan untuk hidup di kandang jauh lebih tinggi dan pakan yang lebih sulit,” terangnya.

“Di awal penelitian memang ada burung yang mati, namun sekarang kami sudah menemukan formula makanan agar mereka bisa bertahan hidup dan berkembang biak. Perilaku dikandang harus selalu diamati agar mereka bisa bertahan hidup,” rinci peneliti yang biasa disapa Lilik.

Ia menjelaskan bahwa burung ini adalah burung liar, walaupun pihaknya mengupayakan untuk berkembang biak mereka masih agak sulit untuk bisa beradaptasi di penangkaran. Untuk itu diperlukan pengumpulan informasi biologi burung-burung yang ada di Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan pusat keragaman burung paruh bengkok.

“Mudah-mudahan makin banyak peneliti di Indonesia yang melakukan penelitian burung paruh bengkok,” sambung Lilik.

Masyarakat Indonesia, terangnya, lebih senang dengan burung berkicau. Minat pasar untuk ekspor sangat tinggi dan BRIN terlibat dalam penentuan untuk batas maksimum pemanfaatan dari penangkaran.

“Sehingga dalam memberikan rekomendasi dan masukkan tentunya harus mempunyai pengalaman agar bisa memberikan masukkan,” tuturnya.

Karena itu pengalaman ini sangat penting dalam pengembangbiakkan burung paruh bengkok. Pihaknya pun mengapresiasi Direktur CV. Pasundan, Suwita Widjaja yang meminjamkan 2 jenis burung paruh bengkok yaitu Eos bornea dan Eos reticulata.

“Cukup menarik jika kita mengamat perilaku, hanya masalahnya dalam pengamatan perilaku terkendala oleh sinyal. Karena internet yang tersedia tidak sampai ke kandang percobaan. Kedua, CCTV sering rusak karena digigit oleh hewan percobaan. Namun itu merupakan tantangan untuk mengamati perilaku dari habitat alam ke penangkaran/kandang,” tutur Lilik.

Meskipun tujuan penelitian ini untuk meningkatkan populasi. Penelitian mengenai genetik yang lebih advance belum dilakukan karena pihaknya masih fokus ke konservasi. Tujuannya, agar masyarakat tidak mengambil dari alam, tetapi bisa dari hasil penangkaran.

“Masyarakat kita juga belum tahu informasi keragaman jenis burung paruh bengkok termasuk keragaman pakannya. Sering masyarakat memberi pakan yang tidak tepat kepada burung peliharaannya, misal yang seharusnya pemakan nektar diberi biji,” terangnya.

Masyarakat membutuhkan informasi tentang satwa Indonesia. Siti Nuramaliati dan tim telah menerbitkan 3 buah buku yaitu Biologi Trichoglossus, tentang burung Bayan dan tentang pakan. Buku-buku tersebut diharapkan bisa memperkaya pengetahuan masyarakat mengenai burung paruh bengkok ini sehingga mereka peduli.

“Jika mereka tidak memiliki informasi, mereka tidak peduli dengan burung-burung yang merupakan kekayaan Indonesia. Kedepannya kami akan mengumpulkan semampu kami mengenai biologi burung,” papar Lilik.

Kepala Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN Evy Ayu Arida berharap dan mendorong para peneliti lebih membuka diri, bekerja sama dengan pihak lain terutama pihak non akademisi.

“Supaya ilmunya bermanfaat dan bisa mengembangkan diri, peneliti harus terus menggali dan memberi manfaat pada masyarakat. Harapan saya dengan bekerja sama kita akan saling mengisi sudut-sudut kekosongan yang kita punya,” ungkapnya.

Direktur CV. Pasundan, Suwita Widjaja mengapresiasi BRIN yang telah memberikan kepercayaannya untuk melakukan kerjasama penelitian. Menurutnya, tujuan CV Pasundan sebagai pihak swasta adalah komersial. Artinya, jika kita menemukan suatu metode yang lebih baik untuk pengembangbiakan dan mendapat dorongan dari scientific authority untuk menemukan metoda yang lebih cepat namun aman.

“Karena pengembangbiakan kadang memaksa burung sehingga mengakibatkan burung mengalami tekanan. Untuk itu mungkin dari sini kita bisa mendapatkan metode yang aman untuk jenis-jenis burung yang kita kembangkan,” ucapnya.

Suwita menjelaskan, saat ini kerjasama hanya difokuskan untuk jenis burung paruh bengkok. Karena jenis yang lain trennya cepat hilang.

“Burung paruh bengkok dari Indonesia memiliki kemampuan bertelur maksimum dua butir, sehingga lebih terjaga keberadaannya di pasaran. Pelaku pasar berlomba-lomba untuk mengembangkan burung paruh bengkok dengan metode yang paling baik,” pungkasnya. (sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author