Jakarta, Technology-Indonesia.com – Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) merupakan sebuah teknik pengukuran geodetic yang menggunakan prinsip gelombang radar untuk menciptakan peta deformasi ataupun topografi yang detail dan akurat.
Peneliti Pusat Riset Geospasial Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Argo Galih Suhadha menjelaskan secara global penelitian yang paling banyak dilakukan dengan InSAR, berkaitan dengan penurunan tanah yang dimana merupakan bagian dari deformasi.
Motivasi penggunaan InSAR, lanjutnya, cukup banyak karena InSAR dapat mengukur pergeseran permukaan sebagai akibat deformasi yang disebabkan oleh bencana alam atau pun aktivitas manusia.
“Sehingga pada kejadian bencana alam seperti tektonik, vulkanik dan sebagainya maupun bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia, kita dapat menggunakan InSAR,” jelas Argo pada Geomodelling Webinar Series #3 bertajuk “Geomodelling untuk Geodinamika” pada Kamis (3/8/2023).
Ia menyampaikan, sejak tahun 1980an penelitian InSAR sudah banyak. Naiknya jumlah riset InSAR ditandai sejak munculnya satelit ERS-1, karena satelit ini merupakan satelit yang open access. Awal meluncurnya ALOS PAL SAR dan sentinel 1 menjadikan komunitas SAR membludak hingga mempengaruhi banyaknya penggunaan InSAR.
“Penggunaan InSAR tidak hanya dikarenakan banyaknya komunitas, tetapi juga karena pengukuran ini, ketika dibandingkan dengan pengukuran geodetik yang telah dikenal dengan tingkat ketelitiannya seperti GNSS dan levelling, bisa mendekati akurasinya dan memiliki trend yang sama,” terangnya.
Menurutnya, pada awalnya prinsip InSAR adalah memakai satu pasang citra SAR untuk mendapatkan perbedaan fase. Hal ini menggambarkan perbedaan ketinggian yang diukur pada citra pertama dan kedua, tetapi mayoritas aplikasi InSAR itu masih 1 dimensi saja, sedangkan di dunia nyata deformasi permukaan itu dalam 3 dimensi.
“Saat ini sudah banyak penelitian yang mengarahkan untuk pemakaian multi geometri orbit, untuk bisa mendapatkan arah pergerakan horizontal. Apabila kita mempunyai citra SAR dari orbit naik (ascending) dan turun (descending) maka kita bisa melakukan permodelannya,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan alasan mengapa multipass itu penting, karena pergeseran vertikal bukanlah informasi dominan yang tersedia pada analisis InSAR. Keberadaan pergeseran horizontal yang tidak bisa diabaikan dapat mempengaruhi keandalan pengukuran InSAR.
Pengabungan data multi geometri memungkinkan InSAR mengestimasi gerakan horizontal dan vertikal, serta meningkatkan keandalannya. Selain itu, dengan mengekploitasi beberapa pengukuran InSAR yang diperoleh dari setidaknya tiga geometri, dapat dilakukan pemodelan pergeseran permukaan dalam 3D.
“Penting untuk ditekankan bahwa pendekatan multipass InSAR berfokus pada presisi, dan akurasinya mungkin belum sebaik levelling maupun GNSS karena InSAR berfokus pada presisi untuk wilayah yang luas,” terangnya.
Argo juga membahas implikasi penggunaan model pergeseran 1D, yaitu pada variasi nilai, akurasi pergeseran vertikal, dan secara umum orbit turun akan mencakup area yang luas sambil meminimalkan dekorelasi, sementara orbit naik memberikan akurasi yang lebih tinggi.
Dia menekankan pentingnya pendekatan fusi multipass, karena pembentukan pergeseran 2.5D dan 3D dari InSAR memiliki banyak pendekatan.
“Perlu adanya pemahaman terkait tujuan masing-masing pendekatan, kesalahan dalam pemilihan pendekatan akan menyebabkan bias informasi, sebagai contoh menerapkan general InSAR untuk gempa besar bisa menghasilkan underestimasi hingga bias. Karena itu sangat penting untuk memahami keterbatasan masing-masing metode dalam menerapkannya di lokasi dan kondisi geodinamika yang diamati,” ucapnya.
Lebih lanjut, dekomposisi 2,5D dan 3D terbukti mampu meningkatkan akurasi pergeseran vertikal, dan menghasilkan pergeseran horisontal yang menjanjikan.
Dosen Teknik Geodesi – Universitas Gadjah Mada dan Anggota Pokja Geodesi Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN), Cecep Pratama menyampaikan deformasi bawah permukaan berimplikasi pada deformasi permukaan dan data geodetiknya bisa didapatkan dengan metode GNSS juga dengan InSAR.
Sehingga, pengamatan deformasi permukaan dapat digunakan untuk memprediksi dan memodelkan deformasi bawah permukaan.
Kepala Pusat Riset Geospasial, Susilo berharap kegiatan webinar ini bisa menambah keilmuan dan dapat mendiseminasikan hasil riset, serta menjadi potensi kerja sama baik antar internal BRIN maupun dengan Universitas-universitas di Indonesia.
Dia juga berharap kegiatan ini menjadi momentum penting dalam pembelajaran dan kerjasama lintas lembaga baik nasional maupun internasional, demi peningkatan pemahaman dan aplikasi InSAR dan Geomodelling di Indonesia. (Sumber brin.go.id)