Peneliti BRIN Soroti Polemik Pagar Laut di Pesisir Tangerang

TechnologyIndonesia.id – Beberapa bulan terakhir terjadi polemik terkait pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar laut tersebut membentang dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji, melintasi 16 desa di 6 kecamatan.

Peneliti Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Subarudi, pagar laut menjadi heboh karena belum diketahui siapa yang membangun.

“Sebuah Ironi jika pihak yang berwenang tidak mengetahui pembangunan pagar laut sudah berlangsung sejak 2022 dan baru bergerak ketika sudah menjadi viral,” ujar Subarudi pada Webinar ‘Laut Dipagar, Nelayan Terkapar, Bencana Menyebar’ pada Kamis, 30 Januari 2025.

Pada webinar tersebut, Subarudi menjelaskan mengenai dasar hukum pengelolaan kawasan pesisir, pembangunan pagar laut dan dampaknya, serta upaya mewujudkan pengelolaan laut yang berkelanjutan.

“Pagar laut, langkah awal menuju kegiatan reklamasi pantai. Dari sudut pengamatan kami, di situ keluar izin kavling laut melalui 263 sertifikat HGB. Dengan rincian 234 sertifikat dipegang PT IAM, 20 sertifikat oleh PT CIS, lalu 9 sertifikat oleh perseorangan,” urainya.

Ia menyebutkan, referensi dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pantai yaitu UU No. 27 Tahun 2007 Jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Adanya pagar laut tersebut membawa dampak serius bagi lingkungan laut, pagar laut berbahan bambu tersebut dapat merusak ekosistem laut. Dampaik yang terbawa lainnya adalah pola arus laut berubah, ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat ikan dan penyu terancam rusak,” paparnya.

Ia juga menilai, proyek reklamasi tersebut mengancam keadilan akses sumber daya bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup mereka pada laut. Di samping itu juga merusak ekosistem dan mengganggu tatanan sosial masyarakat pesisir.

“Kasus ini menjadi sebuah fenomena yang ironis dengan melibatkan banyak pihak, seperti masyarakat lokal, pemerintah desa, kabupaten dan provinsi, pemilik modal, birokrat pusat, serta aparat keamanan. Penegakan hukum harus tidak pandang bulu, tetap berjalan di bawah payung keadilan, serta konsisten,” tegasnya.

Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Anta Maulana membahas berbagai permasalahan, serta tantangan pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia. Mulai dari stagnansi ekonomi yang terjadi baik infrastruktur, transportasi, pendidikan, lapangan kerja.

Hal ini lantaran alam yang semakin rusak akibat alih fungsi lahan, stok sumber daya perikanan yang menipis, pemutihan karang, sedimentasi, limbah laut, dan masifnya industri ekstraktif.

“Kebijakan setiap pemerintahan yang selalu berganti, adanya ocean grabbing antar kelembagaan, ancaman keamanan dalam penangkapan ikan. Kemudian kasus penyelundupan maupun perdagangan ilegal sumber daya laut,” bebernya.

Anta menyoroti dampak permasalahannya yakni penurunan kualitas hidup masyarakat. “Tidak ada laut yang bisa dipagari, ini hanya bentuk lain dari privatisasi ruang pesisir dan laut. Fungsinya merusak ekosistem pesisir, mengganggu jalur laut, dan merugikan nelayan,” ungkapnya.

Dijelaskannya, pagar laut adalah bentuk nyata yang bertujuan memberikan pemahaman baru proses dan dinamika penting dan bersifat negatif.

“Hal ini memengaruhi orang-orang dan komunitas dengan cara hidup, identitas budaya, dan mata pencahariannya yang bergantung pada skala kecil. Perampasan laut digunakan untuk menggambarkan tindakan, kebijakan atau inisiatif yang merampas sumber daya nelayan skala kecil, serta merusak akses historis terhadap wilayah laut,” jelasnya.

Dirinya menyebut tiga hal yang perlu dipertimbangkan bagi kebijakan pemerintah, antara lain pertama quality of governance yang berkaitan dengan kebijakan dan regulasi.

“Kedua, human security dan livelihood berkaitan dengan aksi atau peristiwa yang dapat menghilangkan pekerjaan masyarakat. Ketiga, social–ecologicalwell- being, tentang dampak negatif pada ekologi yang berujung pada kerugian sosial di masyarakat,” rincinya.

Terakhir, menurutnya yang menjadi tantangan, yakni penempatan ekonomi biru dengan merancang kebijakan yang lebih baik dalam mengatur lautan.

“Pada akhirnya, ancaman masuk dalam bentuk blue grabbing, yang sebagian besar tersamarkan oleh narasi. Memberikan insentif untuk investasi dan pemulihan perusakan lingkungan masih berjalan,” pungkasnya. (Sumber brin.go.id)

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). Buku terbarunya, Antologi Puisi Kuliner "Rempah Rindu Soto Ibu"
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author