TechnologyIndonesia.id – Ketersediaan air bersih di Ibu Kota Nusantara (IKN) diprediksi masih menjadi tantangan besar dalam pembangunan kota masa depan. Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer melakukan kajian presentase ketersediaan air di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN) dan sekitarnya.
Hasil riset melalui pendekatan artificial neural network (ANN) atau Jaringan Saraf Tiruan (JST) menunjukkan hanya 0,5% air yang tersedia secara langsung di permukaan, sekitar 20% tersimpan dalam vegetasi, dan sisanya 79% merupakan kawasan non-air berupa lahan terbangun.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Laras Toersilawati menjelaskan bahwa kajian dilakukan menggunakan data satelit selama kurun waktu dari Januari – Desember 2022.
Studi ini menggunakan citra Sentinel-2A yang dianalisis langsung dari Google Earth Engine (GEE) untuk menghitung tiga indeks spektral, yaitu Indeks Air Permukaan Tanah (LSWI), Indeks Perbedaan Vegetasi Ternormalisasi (NDVI), dan Indeks Perbedaan Air Ternormalisasi (NDWI).
Tiga indeks ini digunakan sebagai prediktor dalam model artificial neural network. JST atau ANN ini merupakan sistem pemrosesan informasi dengan karakteristik yang mirip dengan jaringan saraf biologis, yaitu jaringan saraf pada otak manusia.
“JST awalnya dirancang sebagai alat pengenalan pola dan analisis data, yang memiliki keunggulan dibandingkan metode statistik konvensional yang mengharuskan data berdistribusi normal,” terang Laras dalam Media Lounge Discussion (MELODI) yang dilaksanakan secara daring, pada Kamis (2/10/2025).
Lebih jauh, Laras menjelaskan bahwa model yang dibuat mengikuti tahapan-tahapan dalam jaringan saraf tiruan, yaitu menentukan arsitektur jaringan saraf tiruan, meliputi lapisan masukan dan keluaran, penyiapan data sampel, pelatihan data sampel, dan pengujian data yang telah dan belum dilatih.
Menurut Laras, penginderaan jauh dengan satelit digunakan untuk mendeteksi perubahan kadar air dalam tanah atau vegetasi, dengan menggunakan indeks inframerah dekat (NIR) 0,7–1,3 μm dan SWIR. Tiga metode citra satelit multi-band digunakan dalam penelitian untuk memperkirakan badan air permukaan, yaitu NDVI, NDWI, dan LSWI.
Di sisi lain, Laras menyebutkan dampak jika ketersediaan air di IKN tidak tercukupi, seperti pada perubahan iklim dan lingkungan sehingga dapat menyebabkan berkurangnya hujan (jumlah hari hujan dan curah hujan), serta adanya penurunan kualitas air (asam dan tercemar zat besi).
Selain itu, bisa juga menimbulkan dampak sosial dan lingkungan pada peningkatan kebutuhan air, karena pendatang yang tertarik ke IKN bisa meningkatkan kebutuhan air bersih.
Hutan Kota dan Spons City
Laras mengatakan untuk mengatasi kemungkinan kelangkaan air di IKN, pemerintah dapat membangun bendungan dan sistem perpipaan baru, dan embung. Kedua, membangun hutan kota, dan melakukan konservasi lahan dengan reboisasi atau penanaman pohon pengganti karena alih lahan dari hutan industri eucalyptus menjadi lahan terbangun.
“Hutan kota berfungsi sebagai penyangga ekologi, penyerap air hujan, dan sekaligus meningkatkan kenyamanan termal. Saat ini kawasan masih terasa sangat gersang dan panas,” jelasnya.
Selain hutan kota, konsep kota spons atau sponge city juga dinilai relevan. Model ini bertujuan menjadikan kota mampu menyerap dan menyimpan air hujan secara alami melalui infrastruktur hijau, taman, area resapan, serta pengelolaan lahan yang tidak seluruhnya tertutup aspal dan beton.
“Penerapan kota spons dengan cara mengelola air hujan secara alami, menyerap dalam tanah, dan memanfaatkan kembali. Serta tak kalah penting melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menghemat dan tidak mencemari air, ini bisa menjadi solusinya,” katanya.
Selain itu, pembangunan embung di berbagai titik juga mendesak. Embung berfungsi menampung air hujan sekaligus menjaga cadangan pada musim kemarau. Dalam jangka panjang, diperlukan pula sistem digitalisasi distribusi air agar penggunaannya lebih teratur dan efisien.
Kolaborasi Lintas Disiplin
Laras menekankan, upaya perbaikan ketersediaan air di IKN memerlukan kolaborasi lintas disiplin. Kajian hidrologi, konservasi lahan, serta pengelolaan infrastruktur air harus berjalan beriringan.
“Ini bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut biaya besar yang harus dihitung secara matang. Pembangunan ibu kota tidak boleh hanya fokus pada infrastruktur fisik, tetapi juga ekologi,” katanya.
Ia menambahkan, edukasi masyarakat menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan. “Air bisa jadi rebutan jika tidak ada pengelolaan yang bijak. Kesadaran untuk menghemat dan tidak mencemari air harus dibangun sejak awal,” ucapnya.
Hasil kajian BRIN ini belum sepenuhnya dikomunikasikan kepada Otorita IKN. Namun, Laras berharap media dapat menjadi saluran agar hasil riset sampai ke pengambil kebijakan.
“Ini adalah data awal yang bisa digunakan untuk menyusun strategi lebih lanjut. Riset berbasis satelit akan terus kami lanjutkan untuk memantau perkembangan 5–10 tahun ke depan,” tegasnya.
Dengan kondisi eksisting yang masih jauh dari ideal, pembangunan IKN menuntut strategi pengelolaan air yang komprehensif. “Kondisi saat ini memang kurang, tetapi masih bisa diperbaiki. Pertanyaannya tinggal bagaimana langkah konkretnya dan seberapa besar biaya yang bersedia dikeluarkan,” tegas Laras.
BRIN Kaji Presentase Ketersediaan Air di Ibu Kota Nusantara
