TechnologyIndonesia.id – Peneliti Pusat Riset Veteriner (PRVet) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Angela Mariana Lusiastuti menyatakan bahwa BRIN melakukan penelitian kesehatan hewan akuatik yang difokuskan pada pengembangan vaksin dan obat ikan, serta metode deteksi penyakit dan resistensi antimikroba atau penggunaan antimikroba.
Menurut Angela, hewan akuatik seperti ikan merupakan sumber protein hewani lebih rendah lemak daripada sumber protein hewani lainnya. Selain juga mengandung omega-3 yang tidak diproduksi oleh tubuh. Sehingga ini menjadi salah satu kunci dalam mencegah stunting.
“Mengelola kesehatan ikan budi daya menjadi semakin penting, karena wabah penyakit pada budi daya ikan dapat mengurangi produktivitas dan profitabilitasnya,” kata Angela, pada Focus Group Discussion bertajuk Kesehatan Hewan Akuatik, Membangun Masa Depan Ketersediaan Pangan Akuatik Kaya Nutrisi dan Bernilai Tinggi yang Berkelanjutan, di Jakarta, Selasa (10/12/2024).
Dia mengungkapkan, vaksin cair memiliki kelemahan, yaitu tidak praktis dan mudah rusak selama penyimpanan dan pengangkutan.
“Dalam penelitian ini, dikembangkan vaksin beku-kering berlapis kitosan yang memiliki kelebihan. Ia mudah dimobilisasi, mampu mempertahankan kualitas dan efektivitas vaksin pada suhu panas, serta pengangkutan yang memerlukan jarak jauh,” ungkapnya.
Lebih lanjut Angela menuturkan, ikan berminyak mengandung asam lemak omega-3 yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Contohnya, ikan yang tulangnya dapat dimakan seperti sarden, merupakan sumber vitamin D yang berharga. Konsumsi ikan yang tinggi telah dikaitkan dengan penurunan risiko beberapa penyakit autoimun.
Angela juga menekankan perlu dikembangkan dan dikolaborasikan penelitian terhadap penyakit zoonosis. Penyakit ini muncul kembali akibat kontaminan seperti toksin, logam berat, hormon, pestisida, dan bahan kimia lainnya.
“Hilirisasi dan komersialisasi produk inovatif yang diperoleh perlu dilakukan,” tambahnya.
Penanganan Hewan Akuatik di berbagai Negara
Sementara peneliti kesehatan ikan dari Centex Thailand Saengchan Senapin memaparkan cara mengatasi penyakit ikan yang muncul untuk mendapatkan makanan akuatik yang sehat dan bergizi di Thailand.
Dia mengklasifikasikan diagnosa penyakit pada hewan akuatik ke dalam tiga level diagnosis. “Diagnosa dapat dimulai dari level 1, dengan mengobservasi tanda-tanda klinis kasar, serta perilaku dan parameter lingkungan,” ujarnya.
Tanda-tanda klinis tersebut dapat memberikan pedoman untuk melihat langkah selanjutnya melalui alat laboratorium, apakah ada bakteri atau parasit. Di mana, hal ini masuk klasifikasi level 2.
“Kemudian dengan teknik lanjutan, mengonfirmasi klasifikasi level 3 dengan teknik electron microscopy, molecular and immunoassays, dan virology,” sebutnya.
Saengchan mengambil contoh pada ikan nila (tilapia). Dalam beberapa kasus, ujar dia, ikan nila dapat terjangkit penyakir telur merah (red egg disease).
Dalam kondisi level 1, ikan akan bertelur berwarna merah dengan tingkat kegagalan menetas hingga 50 persen. Ketika sampel telur dibawa ke laboratorium dapat dilihat banyak bakteria. Serta, dengan teknik analisis electron microscopy terdapat bakteri hahella chejuensis.
“Uniknya, ini adalah bakteri lautan, bagaimana bisa ditemukan pada ikan air tawar,” imbuhnya.
Ternyata, hal tersebut diakibatkan oleh para peternak ikan nila yang menggunakan salinitas untuk menekan bakteri lainnya pada masa inkubasi.
“Setelah tingkat salinitasnya dikurangi dan kolam diternakkan, diberikan paparan lebih banyak sinar matahari, penyakit telur merah hampir tidak ditemukan lagi,” jelasnya.
Berbagai penyakit muncul, ditekankan Saengchan, memang menjadi masalah di saat ini atau masa depan. Dia menekankan pentingnya memperkuat fasilitas, membangun sumber daya manusia, dan mendukung ilmuwan generasi selanjutnya.
“Menjaga kesehatan hewan akuatik memang membutuhkan upaya dan waktu cukup besar, karena penyakit bisa muncul dari hal kecil, seperti telur ikan,” tuturnya.
Kemudian Peneliti Universitas Manonmaniam Sundaranar India, Thavasimutu Citarasu, menjabarkan tips negaranya dalam manajemen kesehatan ikan laut untuk menghasilkan makanan akuatik yang sehat dan bergizi.
Thavasimutu mencatat berbagai permasalahan dalam peternakan hewan akuatik di India. Di antaranya, kurangnya higienis lingkungan peternakan, kurangnya alat diagnosa, dan rendahnya tingkat sistem kekebalan tubuh hewan akuatik.
“Marine Products Export Development Authority juga telah meninggalkan lebih dari 20 antibiotik. Pendekatan alternatif untuk menyelesaikan permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan obat-obatan herbal yang dinilai lebih aman, murah, dan memiliki berbagai senyawa bioaktif,” jabarnya.
Pendekatan lainnya juga dilakukan, seperti computational drug screening, molecular docking, quorum sensing control, prebiotic, probiotic, biosurfactants, dan pengembangan vaksin. (Sumber brin.go.id)