Jakarta, Technology-Indonesia.com – Penggunaan pupuk dan pestisida pada sistem budidaya pertanian intensif saat ini semakin berlebihan. Minimnya pengetahuan petani akan kerusakan lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan menyebabkan terjadinya pencemaran tanah, air, dan tanaman. Semuanya ini menyebabkan kualitas dan keamanan produk pertanian menjadi menurun.
Hal ini terungkap dalam acara workshop dan seminar Internasional bertema “Innovation of Environmental Friendly Agricultural Technology, Supporting Sustainable Food Self-Sufficiency” di Surakarta, Jawa Tengah yang dilaksanakan pada 18-20 September 2018.
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Badan Litbang Pertanian, Dedi Nursyamsi mengatakan pertanian ramah lingkungan merupakan sistem pertanian yang dampak lingkungannya minimal. Untuk dapat melaksanakan pertanian ramah lingkungan tersebut Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan inovasi teknologi untuk mengurangi cemaran pestisida dan logam berat di lahan pertanian, diantaranya dengan penggunaan urea berlapis arang aktif/biochar, biochar-kompos, biopestisida, bioremediator, fitoremediator, filter inlet outlet, serta alat deteksi cepat residu pestisida atau PURP. “Semua teknologi tersebut bersifat ramah lingkungan,” ujar Dedi.
Biochar berasal dari limbah hasil pertanian, seperti sekam padi, tongkol jagung, tempurung kelapa, tandan kosong kelapa sawit, dan lainnya. Dedi berharap dengan mengelola limbah tersebut maka hasil pertanian tidak akan ada yang terbuang.
Kepala Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) Dr. Asep Nugraha menambahkan penggunaan dan pengelolaan pupuk secara tepat akan meningkatkan hasil serta menurunkan emisi gas rumah kaca. “Karena pupuk organik yang telah matang apabila diberikan ke dalam tanah akan menghasilkan gas rumah kaca yang lebih rendah,” ujar Asep.
Hasil penelitian Balingtan menunjukkan aplikasi Biokompos Balingtan mampu menurunkan laju produksi gas metana sebesar 4 persen dan penurunan gas dinitrogen oksida sebanyak 23 persen. Namun, produksi padi tetap meningkatkan sebesar 17 persen.
Workshop dan seminar ini dihadiri para ahli dari manca negara diantaranya, Navendra Haidu dari Australia, Bjoern Roepke (Singapura), Kazuyuki Yagi (Thailand), dan Godefray Grosjean (Vietnam). Kegiatan ini juga dihadiri Edhi Martono dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan para pakar lainnya dari Badan Litbang Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sebelas Maret (UNS), Kementerian LHK, dan lain-lain. Para peserta umumnya ahli di bidang lingkungan pertanian serta para pengambil kebijakan.
Dengan adanya workshop dan seminar ini diharapkan Badan Litbang Pertanian dapat menyebarluaskan hasil- hasil inovasi teknologi ramah lingkungan untuk mendukung swasembada pangan berkelanjutan yang sedang digalakkan Kementerian Pertanian saat ini. Selain itu juga mambangun network dengan lembaga riset lainnya baik dari dalam maupun luar negeri. Laela Rahmi (Balitbangtan)/SB