TechnologyIndonesia.id – Jalan-jalan ke taman bunga, sungguh menawan indah warnanya. Pantun tradisi bangsa yang mulia, mari lestarikan bersama selamanya.
Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menyampaikan pantun tersebut saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Internasional Pantun Nusantara: Strategi Kultural Merawat Warisan Budaya di Era Digital yang digelar oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Senin (10/2/2025).
Fadli menyampaikan bahwa pantun merupakan satu bentuk karya sastra tradisional yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultur. Pantun telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda pada 20 Desember 2020.
“Pantun tak hanya menjadi sarana hiburan tetapi juga jembatan yang menghubungkan perbedaan, memperkuat persatuan dan memperkaya identitas nasional kita,” ujar Fadli Zon.
Menurut Fadli, kebudayaan nasional tidak berdiri sendiri, tapi sangat bergantung pada kebudayaan daerah. Tanpa pelestarian dan pengembangan budaya daerah, kebudayaan nasional akan kehilangan akar dan otentisitasnya. Karena itu, kebudayaan daerah harus dilindungi dan dilestarikan sebagai bagian dari identitas bangsa.
“Kebudayaan nasional bertindak sebagai payung yang menyatukan keragaman budaya daerah dibawah satu identitas bersama Indonesia. Payung ini tidak bertujuan menyeragamkan, melainkan memberikan ruang bagi kebudayaan daerah untuk berkembang dengan ciri khas masing-masing,” tutur Fadli.
Karena itu, Kementerian Kebudayaan berkomitmen menjaga dan melestarikan pantun sebagai salah satu warisan budaya takbenda Indonesia. “Pantun adalah cerminan kebijaksanaan lokal yang sarat dengan pesan moral. Karenanya menjadi tugas kita bersama untuk memastikan keberlanjutannya,” pesan Fadli.
Ia juga menyampaikan bahwa pantun merupakan warisan budaya yang telah mengalami perjalanan panjang dari tradisi lisan ke ranah digital. Meski zaman terus berubah pantun tetap relevan sebagai alat komunikasi yang penuh makna dan keindahan.
“Karena itu upaya pelestarian pantun harus dilakukan sehingga generasi muda tetap dapat menikmati dan memahami kekayaan budaya ini,” tuturnya.
Menurut Fadli, sentuhan teknologi digital bisa dimanfaatkan agar pantun bisa diterima kalangan generasi muda, misalnya membuat pantun dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“Karena itu penting bagi kita semua untuk tidak hanya mempertahankan pantun dalam bentuk tradisional tapi beradaptasi ke dalam berbagai format yang relevan dengan perkembangan zaman,” ujar Fadli.
Beberapa strategi kultural yang dapat diterapkan misalnya digitalisasi warisan budaya serta mengkonversi bentuk budaya tradisional ke format digital seperti e-book, podcast, video, augmented reality, dan lain-lain.
Fadli berharap seminar ini dapat menemukan solusi inovatif dan terobosan-terobosan untuk memanfaatkan teknologi digital untuk merawat dan menghidupkan kembali pantun di tengah generasi baru.
Strategi Kultural
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, eksistensi pantun mulai tergerus derasnya pengaruh budaya asing dan perubahan gaya hidup masyarakat. Karena itu, tradisi pantun harus terus dilestarikan.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara menyampaikan bahwa penyebaran pantun di Indonesia sangat luas dan hampir semua suku memilikinya. Contohnya, suku Melayu di Sumatra memiliki pantun di wilayah Minangkabau, Kampar, Melayu Tanjungpinang, dan Lingga.
Di Kalimantan terdapat pada suku Banjar dan Kutai. Di Sulawesi dimiliki masyarakat Manado, Gorontalo, dan Makassar. Di Maluku terdapat pada suku Ambon, Ternate, dan Tidore. Di Jawa pantun dimiliki suku Melayu Betawi dan Tionghoa Peranakan.
“Pantun adalah ekspresi kecerdasan penggunaan bahasa sebab disampaikan secara spontan dengan berbalas pantun,” kata Herry.
Tradisi pantun, lanjut Herry, juga memiliki akar kuat dalam tradisi budaya Nusantara. Karya warisan budaya takbenda ini berfungsi sebagai media komunikasi, pendidikan, kritik sosial, serta hiburan.
Dengan estetika yang khas, susunan pantun penuh makna. “Pantun mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang perlu terus dirawat dan diwariskan kepada generasi mendatang,” tambah Herry.
Namun, eksistensi warisan budaya Nusantara ini mulai tergerus pengaruh budaya asing dan perubahan gaya hidup masyarakat, terutama generasi muda.
“Digitalisasi dan media sosial yang berkembang pesat saat ini justru lebih sering diisi oleh konten populer yang kurang mencerminkan identitas budaya lokal,” ungkap Kepala Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan BRIN, Sastri Sunarti.
Menurutnya, fenomena ini memunculkan tantangan besar sehingga perlu pelestarian agar pantun tetap relevan di era digital.
Seminar internasional yang digelar pada 10-11 Februari 2025 ini menghadirkan para pakar dari dalam dan luar negeri, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Belanda. Selain diskusi dilaksanakan juga peluncuran buku pantun.
Seminar bertujuan tidak hanya menghidupkan kembali tradisi berpantun, tetapi juga menjadikannya sebagai bagian integral dalam pendidikan, diplomasi budaya, dan inovasi kontemporer. Hal ini agar mampu menjangkau generasi muda dan masyarakat global.
“Dengan menggali dan memahami pantun sebagai kekayaan masyarakat di berbagai etnis, ditujukan juga untuk memperkuat identitas budaya bangsa dan merumuskan strategi kultural pelestarian pantun di era digital,” pungkas Sastri.
Menbud Fadli Zon Dorong Pelestarian Pantun Melalui Sentuhan Teknologi Digital
![](https://technologyindonesia.id/wp-content/uploads/2025/02/fadli-zon.jpg)