LIPI Kukuhkan Tiga Profesor Riset Baru

Jakarta, Technology-Indonesia.com – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengukuhkan tiga Profesor Riset baru dari bidang keilmuan yang berbeda yakni bidang sejarah sosial politik, desentralisasi dan otonomi daerah, serta kebijakan publik. Tiga ilmuwan yang dikukuhkan adalah Dr. Asvi Warman Adam dari Pusat Penelitian Politik LIPI, Dr. Sarip Hidayat dari Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, dan Dr. Syachrumsyah Asri, S.H., M.Si. dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Ketiga ilmuwan yang menjadi Profesor Riset baru ini masing-masing mempunyai disiplin ilmu yang mumpuni. Salah satunya, Asvi Warman Adam yang menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Dampak G30S: Setengah Abad Histografi Gerakan 30 September 1965” pada acara pengukuhan Profesor Riset di Auditorium Utama LIPI, Jakarta, Kamis (26/7/2018).

Asvi mengungkapkan bahwa historiografi Gerakan 30 September (G30S) yang membahas tulisan-tulisan yang terbit sejak tahun 1965 – 2017, bahkan hingga awal 2018 yang terbagi atas tiga periode yang ternyata beririsan dengan perkembangan politik nasional. Perdebatan sejarah masih dimungkinkan pada periode pertama (1965-1968), bersamaan dengan proses pengambilalihan kekuasaan.

“Ketika kekuasaan itu sudah dimiliki sepenuhnya (1968-1998) maka monopoli sejarah pun dilakukan (periode kedua). Sejak tahun 1998 terjadi berbagai perubahan penulisan sejarah (periode ketiga). Akhirnya, orasi ini menawarkan penyelesaian Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu kepada pemerintah dengan memilah-milah masalah 1965 dan memprioritaskan kasus eksil dan kasus Pulau Buru,” papar Asvi.

Sarip Hidayat, peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI memaparkan orasi ilmiah dengan judul “Desentralisasi dalam Perpektif Relasi Negara dan Masyarakat: Mengurai Akar Persoalan dan Meretas Solusi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia”. Dalam orasi tersebut, Sarip menuturkan, tiga tipologi desentralisasi menurut tipe rezim/sistem politik, yaitu desentralisasi dalam rezim demokrasi, pada rezim otoriter, dan desentralisasi pada periode transisi demokrasi.

Dengan bertumpu pada hasil rekonstruksi konseptual tersebut, Sarip menguraikan, sedikitnya ada tiga akar persoalan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, masih berkesinambungannya ambivalensi orientasi konseptual dan kebijakan. Kedua, adanya bias pergeseran relasi negara-masyarakat. Terakhir, adanya bias kebijakan reformasi.

Selanjutnya untuk mengatasi tiga persoalan tersebut, setidaknya ada empat solusi perbaikan konsep maupun implementasi desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. “Keempatnya adalah rekonstruksi konsep, rekonstruksi pendekatan kebijakan, pengelolaan bias relasi antar elit, dan reformasi kebijakan yang tidak hanya memberikan tekanan pada penguatan institusi negara, tetapi juga penguatan kapasitas negara dan masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, Syachrumsyah Asri dalam orasinya mengupas topik “Kebijakan dan Strategi Pembangunan di Kawasan Perbatasan Kaltim dan Kaltara”. Dikatakannya, pembangunan kawasan perbatasan perlu didesain sedemikian rupa melalui pendekatan kultural/perpaduan bottom up dan top down (social approach) guna melengkapi pendekatan yang sudah ada.

“Untuk itu, diperlukan political will, good will, dan kesungguhan pemerintah disertai dengan revolusi mental untuk mewujudkan pembangunan karakter bangsa sesuai dengan kehidupan berbangsa dan bernegara trisakti dan Nawa Cita,” pungkasnya.

Setiyo Bardono

Editor www.technologyindonesia.id, penulis buku Kumpulan Puisi Mengering Basah (Arus Kata, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (PasarMalam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Email: setiakata@gmail.com, redaksi@technologyindonesia.id

You May Also Like

More From Author