Technology-Indonesia.com – Virus Nipah pertama kali ditemukan tahun 1998 di Sungai Nipah, Malaysia. Virus ini kemudian menyebar ke beberapa negara, mulai dari Filipina, Singapura, India hingga Banglades. Wabah ini semakin mengkhawatirkan, karena dilaporkan terjadi 300 kasus infeksi virus Nipah dengan korban jiwa mencapai 100 orang.
NPL Indi Dharmayanti, Kepala Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi (BRIN) mengungkapkan, beberapa penelitian virus Nipah telah dilakukan di Indonesia, salah satunya oleh Indrawati Sendow dari Pusat Riset Veteriner beserta tim.
Menurut Indi, riset terkait virus ini perlu terus dikembangkan untuk mengetahui karakter, biologi molekuler, dan epidemiologi serta kesiapsiagaan untuk pencegahan dan penganggulangan wabah Nipah dengan deteksi dini virus Nipah di Indonesia.
“Kontrol kesiapsiagaan perlu dilakukan, termasuk mengetahui potensi dan informasi virus Nipah di dunia dan perubahannya. Indonesia perlu selalu waspada dan melakukan tindakan preventif terhadap virus Nipah, mengingat letak geografis Indonesia yang bersebelahan dengan negara-negara yang telah terjangkit virus Nipah,” ucap Indi pada Webinar Emerging dan Re-Emerging Diseases (EIDs) Zoonotic series bertajuk “Mewaspadai Penyebaran dan Penularan Virus Nipah di Indonesia”, pada Rabu (11/10/2023).
Dalam paparannya, Indi menguraikan, virus Nipah yang termasuk famili Paramyxoviridae merupakan penyakit zoonosis. Virus ini menginfeksi hewan babi, anjing, dan kalelawar dari spesies Pteropus sebagai induk semang (reservoir), sedangkan babi sebagai pengganda virus dan sebagai induk semang perantara.
“Berdasarkan penelitian, virus Nipah di Banglades dan Malaysia memiliki tingkat patogenitas yang berbeda jika dilihat dari panjang genom, rute transmisi, asal virus, gejala klinis, induk semang perantara, dan tingkat kematiannya (mortalitas). Ternyata patogenitas virus Nipah di Bangladesh jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia,” imbuhnya.
Indi menambahkan, virus Nipah menginfeksi tubuh melalui jalur hematogenous dan jalur olfactory. Gejala fisik ditimbulkan hampir mirip dengan influenza, sehingga terkadang gejalanya menipu.
Karena itu, diperlukan pemeriksaan yang lebih akurat yang dapat dilakukan dengan PCR. Jika dibiarkan, efek virus Nipah dapat menyebabkan kegagalan pada multiple organ yaitu, otak, ginjal, dan limpa.
“Ancaman virus Nipah masih terus mengintai, sehingga kita perlu berkolaborasi untuk mencegah dan menangani virus ini. Beberapa tantangan penanganan virus Nipah perlu segera ditangani. Diantaranya surveilans terhadap hewan, pengembangan metode diagnostik Nipah, pengembangan vaksin, terapi infeksi, membangun infrastruktur dan terlibat secara aktif di skala lokal, nasional dan global terkait informasi virus Nipah,” imbuh Indi.
Dalam kesempatan yang sama, Indrawati Sendow, Peneliti Pusat Riset Veteriner yang juga menjadi narasumber webinar mengungkapkan, masyarakat Indonesia harus terus mewaspadai virus ini, karena menjadi ancaman signifikan bagi kesehatan manusia dan hewan karena sifatnya yang zoonosis.
“Inang reservoir kelelawar tersebar luas di seluruh Asia dan berada dalam populasi manusia dan ternak yang padat. Kondisi ini dapat menyebabkan wabah spillover yang dapat ditularkan langsung ke manusia oleh kelelawar, hewan peliharaan ataupun dari orang ke orang,” jelas Indrawati.
“Ancaman ini tentunya sangat serius, karena hingga saat ini belum tersedia vaksin dan obat efektif. Oleh karena itu tak heran, jika WHO mengkategorikan virus Nipah ke dalam patogen prioritas WHO kategori resiko grup 4,” imbuhnya.
Indrawati menjelaskan, saat ini penelitian virus Nipah di Indonesia masih terbatas. Penelitian pertama dilakukan saat terjadi wabah di beberapa wilayah perbatasan. Kami melakukan surveilans, uji serologi dan elisa dengan antigen in active terhadap babi dan kalelawar.
“Untuk uji reaktor terkini pada kalelawar kami menggunakan real time PCR dan sequencing. Sedangkan untuk mengetahui lalu lintas kelelawar yang ada di alam liar dilakukan uji telemetris berkolaborasi dengan Australia,” ucap Indrawati.
Indrawati juga menambahkan, meskipun hingga saat ini virus Nipah belum ditemukan di Indonesia, penelitian dan kolaborasi lebih lanjut terhadap virus Nipah ini masih perlu dilakukan terutama di daerah garis Wallace.
“Untuk pencegahan masuknya virus Nipah perlu diterapkan sistem monitoring yang berkelanjutan dan deteksi dini, menerapkan sistem karantina yang ketat, penempatan peternakan babi yang sesuai, dan sistem ekologi yang baik, serta kerja sama lintas sektor,” imbuh Indrawati.
Harimurti Nuradji selaku Kepala Pusat Veteriner juga mengungkapkan BRIN akan terus terlibat aktif dalam meng-update perkembangan virus Nipah. Informasi mendalam tentang pencegahan dan pengendalian sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran penyebaran virus Nipah di Indonesia.
“Kasus yang ada saat ini memberikan dampak yang signifikan terutama untuk penyebaran virus Nipah di dunia, sehingga masyarakat Indonesia perlu terus waspada,” ucapnya. (Sumber brin.go.id)
Riset Karakterisasi dan Biologi Molekur untuk Deteksi Dini Virus Nipah
