Technology-Indonesia.com – Saat ini aerosol bertanda Technetium-99m (99mTc) yang merupakan radioperunut belum banyak digunakan di Indonesia. Padahal radioperunut tersebut dapat dimanfaatkan untuk pencitraan ventilasi paru guna mendiagnosa berbagai penyakit paru, termasuk emboli paru.
Kepala Pusat Riset Teknologi Radioisotop, Radiofarmaka, dan Biodosometri (PRTRRB) dari Organisasi Riset Tenaga Nuklir Badan Riset dan Inovasi Nasional, Tita Puspitasari mengungkapkan hal tersebut saat penandatanganan perjanjian kerja sama dengan Fakultas Teknik (FT) UGM pada Kamis (19/10/2023).
“Ke depan radioperunut ini akan banyak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan produk radiofarmaka dari luar negeri. Untuk itu, pengembangan awal teknologi produksi radioperunut ini sangat penting,” kata Tita.
Menurutnya PRTRRB sudah mulai mengembangkan aerosol bertanda 99mTc dengan memanfaatkan fasilitas laboratorium radioisotop-radiofarmaka dan ketersediaan 99mTc yang diproduksi secara rutin, namun pembuatan aerosol ini memerlukan karbon aktif yang memiliki kriteria khusus, sehingga dapat ditandai dengan 99mTc secara optimal.
Tita mengungkapkan pihaknya menggandeng FT UGM dalam kolaborasi ini, mengingat UGM berpengalaman dalam penelitian dan pengembangan karbon nanopori dari cangkang kelapa sawit.
“Karbon nanopori yang dihasilkan FT UGM diperkirakan memiliki kapasitas penandaan yang besar terhadap 99mTc, sehingga kolaborasi ini diharapkan dapat mempercepat penelitian dan pengembangan aerosol bertanda 99mTc untuk diagnosa paru-paru,” tegasnya.
Itikad baik tersebut mendapat tanggapan positif dari Selo, Dekan FT UGM. “Kolaborasi ini wujud sinergi kita untuk menghilangkan duplikasi hasil riset, sehingga hasilnya maksimal,” jelas Selo.
Menurutnya kolaborasi antara dua institusi besar BRIN dan UGM yang saling support dalam hal riset bertujuan untuk kebaikan bersama.
Dalam kesempatan yang sama periset PRTRRB BRIN, Indra Saptiama memaparkan latar risetnya terkait pengembangan nanopartikel karbon dari limbah kelapa sawit.
“Riset ini berangkat dari minimnya teknologi terkait diagnosis gangguan emboli paru yang mudah dan murah, sebagai informasi ada sebanyak 75-269 kasus pada 100.000 orang di Eropa, Amerika, dan Australia, sedangkan di Indonesia masih belum diketahui secara pasti prevalensinya dikarenakan diagnosanya yang sulit dan mahal,” ujarnya.
Karenanya diperlukan diagnosa dan pengobatan yang tepat pada pasien. Salah satunya melalui pencitraan ventilasi menggunakan nano aerosol karbon bertanda 99mTc yang dihasilkan oleh generator komersial.
Ia dan timnya merekomendasikan pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai bahan baku pembuatan aerosol karbon.
“Indonesia adalah negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dan limbah kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan aerosol karbon, akan memberi nilai tambah secara komersial,” terang Indra.
Adapun metode penelitian dilakukan dengan pembuatan treated-oil palm shell charcoal (t-OPSC) menggunakan proses hidrotermal pada suhu 200°C selama dua jam. Dilanjutkan dengan preparasi t-OPSC nanoparticles, dikarakterisasi, dan kemudian dilakukan penandaan t-OPSC dengan 99mTc.
“Namun masih diperlukan adanya optimasi penandaan dan produksi aerosol,” simpulnya.
Saat ini penggunaan partikel karbon bertanda 99mTc hanya dipraktikkan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. (Sumber brin.go.id)