Jakarta, Technology-Indonesia.com – Masih rendahnya Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) yang mampu menjadi PPBT (Startup berbasis Teknologi) mendorong Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) menggelar CPPBT Boot Camp 2019. Kegiatan ini bertujuan mengembangkan dan menguatkan skill serta pengetahuan CPPBT sehingga dapat menjadi PPBT unggul.
Direktur PBBT, Retno Sumekar mengatakan, sejak 2016 Kemenristekdikti memberikan pendanaan untuk mengembangkan produk inovasi teknologi dari perguruan tinggi melalui program CPPBT dari perguruan tinggi (CPPBT-PT). Program CPPBT-PT bertujuan mendorong penyempurnaan produk inovasi teknologi yang sudah masuk pada kategori prototipe dan fase pra-komersial untuk disiapkan menuju komersial.
Selama empat tahun terakhir, lanjutnya, Kemenristekdikti telah membina dan memfasilitasi 558 CPPBT-PT. Dari total 558 calon startup (CPPBT) yang dapat naik kelas ke PPBT hanya 59 CPPBT atau hanya 10,57%. Kondisi ini menandakan bahwa walaupun sudah disempurnakan prototipe dari produk tersebut tidak serta merta dapat naik kelas menjadi startup.
“Ini adalah tahun pertama bagi penerima CPPBT untuk mendapatkan pelatihan untuk menumbuhkan jiwa bisnis atau entrepreneur. Semoga pada 2020, lima puluh persen dari CPPBT bisa naik kelas. Itu yang saya harapkan,” ungkap Retno Opening Dinner CPPBT Boot Camp 2019 di Jakarta pada Senin (8/4/2019).
CPPBT Boot Camp yang digelar pada 8-10 April 2019 diikuti oleh 132 peserta dari 70 Perguruan Tinggi dari Sabang sampai Merauke. Selama dua hari, para peserta akan mengikuti seminar, workshop, inspirational talk dan success story dari CPPBT yang berhasil naik kelas ke Program PPBT.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Jenderal Penguatan Inovasi Kemenristekdikti Jumain Appe mengatakan hasil penelitian perguruan tinggi sebagian mati di tengah jalan atau sering disebut sebagai lembah kematian.
Jika diukur berdasarkan tingkat kesiapan teknologi atau technology readiness level (TRL), umumnya hasil penelitian di perguruan tinggi masih di TRL 6. Jika ingin dikembangkan menjadi suatu produk inovasi, seharusnya mencapai TRL 9. Setelah itu, baru bisa mengembangkan proses-proses bisnis agar produk tersebut bisa laku di pasar atau bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Kita menyadari tidak mudah membawa hasil-hasil penelitian dari perguruan tinggi ke dunia usaha. Ke depan kita mesti melakukan perubahan atau proses yang lebih mengarahkan bagaimana hasil penelitian di perguruan tinggi nantinya bisa menjadi produk yang memiliki nilai bisnis,” kata Jumain.
Menurut Jumain, ada dua hal yang harus dilakukan untuk mendorong hasil penelitian dari penguruan tinggi ke dunia usaha. Pertama, bagaimana peneliti di perguruan tinggi baik mahasiswa maupun dosen melaksanakan penelitian berbasis pada kebutuhan. Sebelumnya, peneliti di perguruan tinggi mengembangkan teknologi sesuai dengan kemampuan ilmunya dan fasilitas yang ada.
“Proses ini harus diubah. Menristekdikti sudah mengarahkan agar semua penelitian di perguruan tinggi sebaiknya berorientasi pada kebutuhan, sehingga teknologi yang dikembangkan tidak hanya menghasilkan paper dan pendaftaran paten tetapi bisa menyelesaikan persoalan di masyarakat,” terangnya.
Kedua, jiwa entrepreneurship atau wirausaha sudah mulai harus ditanamkan di dalam perguruan tinggi. Untuk itu, disamping pendidikan khusus keteknikan atau skill juga harus dikembangkan pendidikan entrepreneur.
“Kita berharap perusahaan-perusahaan pemula ini nantinya menjadi penggerak ekonomi di masyarakat. Penelitian dan pengembangan yang melahirkan teknologi dan inovasi merupakan inti atau penggerak utama dari suatu industri suatu negara,” pungkasnya.
Pada acara ini juga dilakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan Lembaga Penerima Pendanaan CPPBT Tahun 2019. Penandatanganan perjanjian kerjasama diwakili oleh Rektor Universitas Muhammadiyah Sorong dan Ketua LPPM Universitas Syiah Kuala, Aceh.