Penelitian tentang nanosensor (sensor nano), salah satu produk nanoteknologi berbasis elektronik mengantar Dr. Ratno Nuryadi, M.Eng meraih gelar profesor riset bidang elektronika. Dalam prosesi pengukuhan profesor riset di Jakarta, Rabu (8/6/2016), Peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) ini menyampaikan orasi ilmiah berjudul Rekayasa Material Nano untuk Aplikasi Sensor Bersensivitas Tinggi.
Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) perlu mendapatkan sentuhan teknologi, termasuk inovasi nanoteknologi agar dapat memberikan nilai tambah yang tinggi dan menaikkan nilai ekonomi. Penguasaan nanoteknologi juga dapat meningkatkan kualitas SDM sehingga Indonesia dapat menjadi bangsa mandiri dan berdaya saing.
Dalam orasinya, Ratno memaparkan hasil riset sensor nano untuk deteksi obyek fisika, kimia, dan biologi. Hasil riset ini memberi kontribusi penting dalam pengembangan iptek khususnya nanoteknologi. Nano sensor memiliki potensi aplikasi di bidang pertanian, kesehatan, teknologi informasi, industri, dan keamanan.
Sensor merupakan perangkat yang digunakan untuk mendeteksi adanya perubahan parameter lingkungan fisik, kimia, dan biologi. Penerapan nanoteknologi untuk sensor membuka kemungkinan ukuran sensor menjadi jauh lebih kecil. “Potensi demikian sulit direalisasikan dengan teknologi konvensional,” lanjutnya.
Menurut Ratno, banyak potensi pemanfaatan sensor nano. “Di bidang pertanian bisa membantu mengontrol agar tanaman bisa tumbuh dengan subur dan tidak tergantung musim. Untuk mengontrol kadar air tanah, kelembaban udara, pH, dan lain-lain dibutuhkan sensor yang sensitif. Misalkan tanaman butuh air, kemudian disuplai sehingga tanaman bisa hidup,” kata Ratno.
Sensor nano juga bisa mendeteksi secara dini hama tanaman dan penyakit tanaman sehingga pengobatannya bisa cepat dilakukan. Kehalalan bahan makanan bagi umat muslim juga bisa dideteksi secara cepat dan akurat dengan sensor nano berbasis surface plasmon resonance yang bisa membedakan jenis DNA dari unsur lemak babi dan hewan lainnya.
Di bidang kesehatan, sensor nano dapat digunakan untuk memonitor tekanan darah, detak jantung, kadar glukosa, dan lain-lain. Potensi aplikasi lainnya adalah mendeteksi virus, bakteri, dan sel yang sangat berguna di dunia kedokteran.
Sementara di bidang Informasi Teknologi (IT), pengiriman informasi dari satu tempat ke tempat lain tanpa resiko penyadapan menjadi harapan pengguna. Teknologi quantum cryptography berbasis sensor nano deteksi foton tunggal merupakan solusi dari permasalahan penyadapan. Sementara di bidang industri, sensor nano bisa mendeteksi kebocoran gas, tekanan, dan zat-zat kimia berbahaya dengan sensivitas tinggi.
Kendala dan tantangan dalam pengembangan nanoteknologi di Indonesia menurut Ratno antara lain pemahaman pentingnya nanoteknologi yang belum merata. Hal ini berdampak belum adanya arah pengembangan nanoteknologi yang komprehensif. Selain itu, nanoteknologi masih dianggap sebagai teknologi tinggi sehingga Indonesia lambat dalam mengejar ketertinggalan.
Ratno berharap riset nanoteknologi terutama sensor nano diarahkan pengembangannya berbasis bahan baku lokal seperti silikon, oksida timah, dan oksida seng sehingga dapat melahirkan produk-produk nano buatan dalam negeri. “Dengan demikian diharapkan akan memberikan kesejahteraan pada rakyat dan menanamkan kebanggaan pada diri bangsa,” pungkas Ratno.
Karir dan Prestasi
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta 17 Agustus 1973 ini selepas lulus SMA Negeri 8 Yogyakarta (1992) mendapatkan program beasiswa STAID III dari BPPT tujuan Jepang dengan keberangkatan tahun 1993. Ratno meraih gelar S1 dari Jurusan Fisika Fakultas Sains Universitas Shizuoka, Jepang tahun 1998. Dari universitas yang sama ia meraih gelar Magister bidang teknik elektronika pada 2000 dan doktor bidang material elektronika pada 2003.
Anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Ngadirin dan Lasinem ini pernah bekerja sebagai peneliti postdoctoral di Universitas Shizuoka tahun 2003-2006. Ratno pernah bekerja sebagai Asisten Profesor di Research Institute of Electronics, Universitas Shizuoka pada 2006-2008. Pada 2008, Ratno kembali ke BPPT dan berkerja sebagai peneliti di Pusat Teknologi Material dan menduduki jabatan sebagai Kepala Bidang Keramik Rekayasa pada 2012-2015.
Hasil penelitiannya telah dipublikasikan dalam 169 karya ilmiah, meliputi 29 jurnal internasional, 20 jurnal nasional, 2 chapter books, 79 prosiding internasional, 31 prosiding nasional, 8 karya tulis ilmiah populer.
Suami dari Hidayati Tholib ini aktif di berbagai organisasi profesi seperti anggota The Institute of Electrical and Electronic Engineer (IEEE) sejak 2012, Ketua I Masyarakat Nano Indonesia (MNI) tahun 2010 – sekarang, pengurus Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) tahun 2010-sekarang, dan Ketua Institute for Science and Technology Studies (ISTECHS) cabang Jepang periode 2006-2008.
Atas prestasinya, Ratno Nuryadi menerima beragam penghargaan antara lain Young Researcher Award (2004), Peneliti Terbaik bidang Ilmu Pengetahuan Teknik dan Rekayasa (2008), Penghargaan Achmad Bakrie kategori Periset Muda Berprestasi (2010), Medali Emas Adhicipta Rekayasa (2010), dan lain-lain. Ratno juga mendapat penghargaan Satyalancana Karya Satya X (2010), Satyalancana Wira Karya (2013), dan Satyalancana Karya Satya XX (2013) dari Presiden Republik Indonesia.