Dr Tri Handoko Seto : Teknologi Modifikasi Cuaca Sudah Lebih Maju, Harus Ditingkatkan Pemanfaatannya

Sosok Dr Tri Handoko Seto, S.Si bukanlah orang baru di kalangan Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) . Dua puluh tahun berkarir di BBTMC (kala itu masih UPT-Hujan Buatan), Tri Handoko Seto mampu menapaki jabatan tertinggi sebagai Kepala BBMTC pada 2016.   

Setelah meraih gelar sarjana Fisika Universitas Brawijaya Malang pada 1995, pria kelahiran Banyuwangi, 21 Januari 1972 ini, langsung meniti karir di UPT Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak 1996. Tiga tahun kemudian, Tri Handoko Seto memegang kendali koodinator lapangan (field coordinator) proyek pelayanan teknologi modifikasi cuaca.

Pengalaman di lapangan menempanya memahami persoalan terkait faktor internal maupun eksternal di bidang TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca). “Literasi atau kemampuan memahami tentang TMC di kalangan masyarakat masih lemah. Contoh, setiap pergantian pemimpin di suatu daerah, kami harus bolak balik menjelaskan tentang pentingnya TMC. Tidak ada sistem yang kontinyu menerapkan TMC, padahal sudah diimplementasikan sebelumnya,” ujarnya ketika ditemui di ruang kantornya beberapa waktu lalu.

Di daerah, kata Tri Handoko Seto, TMC memegang peran penting dalam pengaturan manajemen air untuk kebutuhan PLTA (pembangkit Listrik Tenaga Air) dan irigasi pertanian. Sedangkan tingkat nasional, menjadi tumpuan mengatasi kebakaran hutan termasuk bencana hidrometrologi yang kerap menimpa negeri ini.

“TMC harus diposisikan untuk preventif. Para pemilik waduk mestinya memasukkan dalam agenda untuk meningkatkan produktivitas, baik untuk kebutuhan listrik maupun pertanian. Demikian pula, untuk kasus kebakaran hutan, TMC jangan dianggap sebagai pemadam kebakaran tok, karena kami sudah memiliki teknologi untuk pencegahan kebakaran hutan,” tukasnya.

Dari sisi internal, kendala saat ini adalah pesawat. Tri Handoko Seto yang kerap disapa Seto ini mengungkapkan baru saja “menghidupkan” kembali pesawat lama yang dimiliki BPPT. Namun, untuk operasional baru satu pesawat yang siap pakai, yaitu Piper Cheyenne II bernomor PK-TMC untuk bahan semai flare, sedangkan  jenis  Cassa 212-200 bernomor PK-TMA untuk bahan semai berbasis bubuk masih dalam proses registrasi di Direktorat Kelaikan dan Pengoperasian Pesawat. “Keduanya pesawat lama yang hampir lima tahun grounded dan kini diperbaiki dan revitalisasi,” ujarnya.

Bandingkan dengan Thailand. Seto mengatakan Negeri Siam kini memiliki 15 armada pesawat terbang khusus untuk operasional TMC. “Thailand kenapa pertaniannya maju karena TMC dilaksanakan hampir sepanjang tahun di berbagai kawasan untuk  pertanian. Negara sekecil itu bahkan menerbangkan 15 pesawat setiap hari secara paralel,” ujarnya.

Pada era Presiden Soeharto, Indonesia mulai belajar mengenai hujan buatan di Thailand.  Namun, kata Seto, penelitian TMC di Indonesia (BBTMC-red) jauh lebih maju dibanding Thailand. “Riset kita lebih maju, tapi operasional TMC masih jauh ketinggalan dibanding Thailand. Karena TMC di Thailand dipegang langsung oleh Raja,” ujar Seto yang juga terpilih memimpin kerjasama riset UPTHB BPPT Indonesia dengan BRRAA Thailand sejak 2013 hingga saat ini.

Selain Thailand, Seto juga pernah memimpin kerjasama riset Atmospheric Science antara UPTHB Indonesia dengan UCAR (University of Colorado Atmospheric Research) USA pada 2014.  Juga kerjasama riset TMC antara UPTHB BPPT Indonesia dengan CMA (China Meteorological Agency) China pada 2011-2012. 

Sedangkan, di tingkat nasional, Seto yang juga peneliti madya, dipilih memimpin kerjasama pengembangan bahan semai piroteknik untuk TMC antara UPTHB dengan PT. Pindad (persero) pada 2012.  Termasuk menjalani tugas rutin memimpin program-program penelitian di UPTHB BPP dan proyek pelayanan teknologi, diantaranya Field Director merangkap Field Coordinator pada proyek-proyek pelayanan TMC penanggulangan bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya (2013).   Field Director pada proyek-proyek pelayanan TMC penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di 9 provinsi di Sumatera dan Kalimantan (2012).   Field Director pada proyek-proyek pelayanan TMC penambahan curah hujan di Indonesia (1998 – 2011) serta  Field Coordinator proyek-proyek pelayanan TMC penambahan curah hujan di Indonesia sejak 2012 hingg saat ini.

Disela-sela tugasnya, Tri Handoko Seto menyelesaikan pendidikan lanjutan di Jepang hingga menyabet gelar doctor (S3) dari Universitas Kyoto, Jepang di bidang Meterologi dan Geofisika melalui tesis berjudul “A study on convection over Sumatra and its relationship to large-scale disturbances based on coordinated observations with the Equatorial Atmosphere Radar.”

Kembali dari Jepang, Tri Handoko Seto diberi tugas sebagai Ketua Kelompok Fisika Awan, UPTHB BPPT  sekaligus  Ketua Tim Marketing UPTHB BPPT (2010-2012).  Selanjutnya, menjabat Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan UPTHB BPPT (2012-2016) hingga akhirnya mencapai tampuk pimpinan tertinggi sebagai Kepala BBTMC hingga saat ini.

Ayah dari tiga orang putra putri ini juga meraih berbagai penghargaan, baik dari pemerintah maupun swasta. Diantaranya, penghargaan Satyalencana Karya Satya 10 tahun pengabdian pada 2007. Terpilih sebagai “Tokoh Inovator Indonesia”  yang diberikan Kementerian Riset dan Teknologi bekerjasama dengan Media Indonesia sebagai peneliti di bidang Teknologi Modifikasi Cuaca. 

Juga penghargaan “BPPT’s Engineer of the Year 2012-2013” atas dedikasi dalam mengkasilkan karya teknologi modifikasi cuaca untuk mengurangi curah hujan beserta kiprah sebagai engineer dalam bidang meteorologi, modifikasi cuaca, dan pemanasan global. 

Saat ditanya prospek TMC mendatang, Seto mengatakan sangat dibutuhkan untuk peningkatan produksi pertanian secara masif untuk mencapai swasembada pangan nasional. Selain itu, TMC bisa diaplikasikan dalam mendukung pembangunan rendah karbon (low carbon development) seperti restorasi lahan-lahan kritis dan pembasahan lahan gambut dalam skema pencegahan emisi karbon.

“ TMC dapat diaplikasikan untuk meningkatkan produksi pangan dan PLTA untuk mendukung energi bersih dan pembangunan rendah karbon. Tidak hanya skala nasional, tapi juga dapat ekspansi kerjasama ke luar negeri seperti Timor Leste dan negara-negara ASEAN lainnya,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author