Jakarta, Technology-Indonesia.com – Data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UN-ISDR) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara paling rawan terhadap bencana di dunia. Posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah korban jiwa yang terdampak bencana alam.
Pada awal tahun 2020, ada 13 kejadian bencana di Indonesia. Bencana banjir di wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, misalnya, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebabkan 27.971 warga mengungsi dengan jumlah korban 61 orang.
Pemerintah dan pihak terkait telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi dan mengurangi dampak dan jatuhnya korban jiwa akibat bencana. Salah satunya, melalui pendekatan standardisasi dengan penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8840-1:2019 Sistem peringatan dini bencana – Bagian 1: Umum. Proses penetapan SNI ini dilakukan Badan Standardisasi Nasional (BSN) setelah melalui serangkaian tahapan perumusan rancangan SNI oleh Komite Teknis 13-08, Penanggulangan Bencana.
Direktur Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal, dan Ekonomi Kreatif BSN, Hendro Kusumo menjelaskan, standar ini dirumuskan agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam penerapan sistem peringatan dini bencana. Penerapan standar ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran para pelaku dan masyarakat mengenai panduan bagaimana melakukan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat di kawasan rawan bencana melalui penerapan sistem peringatan dini.
“Sistem peringatan dini bencana ditujukan untuk memberdayakan individu-individu dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana agar bisa melakukan antisipasi bencana sesuai arahan otoritas lokal maupun tim siaga bencana. Peningkatan kesiapsiagaan tersebut penting dilakukan secara terus menerus dengan maksud untuk mengurangi dampak dan risiko korban jiwa akibat terjadinya bencana,” jelas Hendro di Kantor BSN, Jakarta pada Selasa (14/01/2020)
Karena itu, idealnya SNI ini menjadi acuan bagi otoritas lokal (Rukun Tetangga, Rukun Warga, Kelurahan, dan seterusnya), tim siaga bencana serta masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana untuk bisa memberi dan/atau menangkap adanya peringatan dini bencana serta menentukan langkah-langkah antisipasi.
“Yang dimaksud tim siaga bencana, adalah menyiapkan tim atau kelompok yang berisikan anggota yang dipilih berdasarkan kemampuan masing – masing anggota dalam setiap upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan penanganan pasca bencana,” ujar Hendro.
Tim siaga bencana sebaiknya terdiri dari individu – individu dengan pengetahuan tentang daerah rawan bencana, pengelolaan data dan informasi, peringatan dini dan sistem evakuasi, kesehatan, logistik, dan keamanan. Tim siaga juga harus memahami sistem peringatan dini bencana yang terdiri atas lima sub-sistem utama yaitu pengetahuan tentang risiko; diseminasi dan komunikasi; pemantauan dan penyampaian peringatan; kemampuan merespon; serta membangun komitmen dalam pengoperasian dan pemeliharaan. Tim siaga bencana dan/atau otoritas harus melakukan semua tahapan dari lima sub-sistem utama. Otoritas atau pemangku kepentingan harus mendukung tim siaga bencana agar mampu mengimplementasikan lima sub-sistem tersebut.
Terkait pengetahuan tentang risiko tersebut, Hendro mengutarakan, tim siaga bencana dan/atau otoritas harus memiliki pengetahuan yang mencakup aspek fisik, kelembagaan, aspek sosiobudaya, ekonomi dan lingkungan. Dengan demikian dapat memberikan pemahaman dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melakukan respon yang tepat untuk menghindari dan melindungi diri sendiri dari bencana.
Tim siaga bencana akan bertugas untuk melakukan seluruh kegiatan antara lain menentukan daerah risiko bencana, tempat evakuasi, dan jalur evakuasi; mengarahkan, menyiapkan, dan melatih masyarakat; serta mengatur desain-pemasangan-operasional-pemeliharaan sistem peringatan dini.
“Masyarakat harus mengikuti instruksi dan panduan dari tim siaga bencana, terutama kemampuan merespon. Dan juga, masyarakat harus mengikuti denah dan jalur evakuasi, panduan operasional evakuasi dan tak lupa ikut serta secara aktif dalam latihan evakuasi,” ungkap Hendro.
Tim siaga bencana dan atau otoritas akan melakukan pemasangan alat peringatan dini yang diprioritaskan pada daerah dengan sumber ancaman berisiko paling tinggi dan potensi dampak jiwa terpapar yang paling besar. Alat peringatan dini disesuaikan dengan jenis/tipe bencana yang mengancam suatu wilayah; pengamatan data dari alat peringatan dini secara regular; dan perawatan alat peringatan dini. Hasil pemantauan tersebut, kemudian dianalisis oleh instansi yang berwenang, selanjutnya dilaporkan kepada pemerintah/pemerintah daerah untuk disampaikan dalam bentuk peringatan atau perintah evakuasi kepada masyarakat.
SNI 8840-1:2019, menjadikan otoritas lokal, tim siaga, dan masyarakat memiliki kesamaan pengertian dan mempunyai panduan yang baku dalam menangkap peringatan dini sehingga semua bisa bergerak secara bersama-sama mengantisipasi dampak bencana.
“Tak kalah pentingnya ketiga pihak tersebut juga harus memahami dan melakukan mitigasi bencana, yang menurut SNI ini, dapat dilakukan dengan pendekatan struktural dan non-struktural,” ujar Hendro.
Pendekatan struktural mencakup pembangunan konstruksi yang mencegah dan melindungi masyarakat, infrastruktur dan sumber penghidupan dari bencana. Kegiatan tersebut membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu yang lama. Sementara pendekatan non-struktural yaitu dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui penerapan sistem peringatan dini.
Hendro juga menambahkan bahwa SNI ini akan merupakan family standard terkait peringatan dini bencana. Selanjutnya masih akan dirumuskan standar bagian lainnya yang lebih spesifik menurut jenis bencananya, yaitu tanah longsor, banjir, gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.