Jakarta, Technology-Indonesia.com – Masyarakat Indonesia jika mendengar kata nuklir biasanya langsung berasumsi pada bom atom. Padahal radiasi pada nuklir bersumber dari sinar X dan gelombang Gamma. Masyarakat sudah familiar terutama dengan sinar X karena telah dimanfaatkan dalam sektor kesehatan.
Hal tersebut dipaparka oleh Widi, pengurus Asosiasi Profesi Nuklir Indonesia (Apronuki) dalam Seminar Berkala Balai Besar Litbang Pascapanen di Bogor pada Senin (11/2/2019).
Kandungan perut bumi Indonesia, terangnya, tak hanya kaya dengan batu bara, minyak, gas, hingga emas, ada juga kandungan thorium dan uranium. Thorium merupakan bahan bakar reaktor nuklir yang terdapat di alam dengan kelimpahan lebih besar dibanding uranium. Di Indonesia, ketersediaan thorium mencapai 130 ribu ton, hampir dua kali lipat dibandingkan stok uranium dengan 74 ribu ton.
Ketua Apronuki, Besar Winarto mengatakan pemanfaatan nuklir di berbagai bidang sudah dilakukan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) seperti sektor energi, industri, kesehatan, lingkungan bahkan pertanian. “Riset yang dilakukan Batan dalam sektor pertanian sampai saat ini hanya berkutat pada komoditas padi saja, padahal sektor pertanian tidak hanya itu,” tuturnya.
Menurut Besar Winarto, sudah saatnya Batan bersinergi dengan lembaga atau institusi teknis untuk menciptakan riset yang lebih siap untuk level industri global. “Jadi riset apa yang ada di Batan dan bisa dimanfaatkan oleh Balitbangtan ataupun sebaliknya untuk ketahanan pangan di Indonesia. Iradiasi pada pangan misalnya,” tambahnya.
Iradiasi pangan merupakan metode penyinaran terhadap pangan baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan pangan serta membebaskan dari jasad renik patogen. Iradiasi pangan merupakan proses yang aman dan telah disetujui oleh lebih kurang 50 negara di dunia dan telah diterapkan secara komersial selama puluhan tahun di USA, Jepang dan beberapa negara Eropa.
Codex Alimentarius Commission telah melakukan berbagai kajian dan menyatakan bahwa iradiasi pangan dengan dosis rata-rata sampai dengan 10 kGy tidak menimbulkan bahaya toksisitas. Selain itu, proses iradiasi tidak menggunakan panas sehingga kehilangan zat gizi terjadi dalam jumlah minimal dan lebih kecil dari pada proses pengawetan lain seperti pengalengan, pengeringan, dan pasteurisasi.
Apronuki berkeinginan menjalin kerjasama dengan Kementerian Pertanian khusunya Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian dalam hal pemanfaatan energi nuklir (iradiasi) untuk penanganan pascapanen komoditas pertanian.
Sementara itu, BB Pascapanen mulai tahun 2018 dan dilanjutkan pada 2019 telah melakukan kerjasama penelitian dengan Batan terkait penggunaan iradiasi sinar gamma untuk menekan OPT (organisme penganggu tanaman) pada buah manggis, nanas, dan mangga.
“Perlakuan iradiasi tersebut selanjutnya akan dikombinasikan dengan teknologi pascapanen lainnya, seperti HWT (hot water treatment) dan kemasan aktif,” jelas Siti Mariana Widayanti, peneliti BB Pascapanen. Kombinasi perlakuan tersebut diharapkan akan memberikan hasil yg lebih baik dibandingkan jika perlakuan sendiri-sendiri. Erwan G. Apriyansyah/SB