Bogor, Technology-Indonesia.com – Isu paling mutakhir dan menjadi perhatian serius masyarakat dunia adalah pemanasan global dan perubahan iklim sebagai salah satu ancaman terhadap pangan dan kesejahteraan manusia. Posisi yang sangat unik dari sub sektor perkebunan juga sering menjadi perhatian dalam isu perubahan iklim.
“Pada satu sisi, ia dituding sebagai salah satu pemicu perubahan iklim, tetapi di sisi lain, selain rentan dan terdampak, ia juga sangat berperan dalam mitigasi pemanasan global. Dalam aspek ekonomi ia berperan secara sangat signifikan, baik sebagai komoditas pangan maupun energi,” kata Sekjen Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi) Haris Sjahbudin dalam Simposium Meteorologi Pertanian IX dan Kongres VIII Perhimpi di Bogor pada Selasa (2/10/2019).
Simposium Meteorologi Pertanian yang mengangkat tema ”Inovasi Aksi Iklim Pertanian Menuju Kemandirian Pangan, Ekonomi, Energi dan Lingkungan” ini salah satunya bertujuan menghimpun berbagai isu terkini terkait berbagai kegiatan adaptasi dan co-benefit (mitigasi) sektor pertanian. Dalam simposium ini sub sektor perkebunan juga menjadi salah satu isu utama yang didiskusikan.
Lebih lanjut Haris menerangkan bahwa sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dan sering menjadi faktor pembatas, terutama untuk musim tanam kedua dan ketiga. Karena itu, Direktorat Jenderal Perkebunan telah mengemas program Bun-500 untuk kurun waktu 6 tahun (2019-2024). Melalui program ini akan disiapkan 500 juta bibit unggul untuk pengembangan perkebunan khususnya program peremajaan tanaman perkebunan.
“Setiap tahun, diperkirakan kekeringan selalu mengancam proses pembibitan dan peremajaan berbagai komoditas perkebunan, terutama pada musim kemarau,” terang Haris yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslitbangtan).
Karena itu, dibutuhkan antisipasi dampak kekeringan melalui teknologi panen dan hemat air dan penerapan penggunakan aplikasi Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu untuk menetapkan musim tanam dan aplikasi teknologinya.
Sejalan dengan hal tersebut, pada Simposium Perhimpi ini dilaksanakan peluncuran “Gerakan Nasional Panen dan Hemat Air Mendukung Bun-500, Kemandirian Pangan, dan Energi” dan “Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu Versi 3.0 – Inovasi Standing Crop”.
Haris berharap Gerakan Nasional yang dirancang sejak setahun lalu ini menjadi gaung nasional untuk antisipasi kemarau yang berkepanjangan, seperti yang terjadi tahun ini.
Perhimpi, terang Haris, dibentuk sejak lebih dari 35 tahun lalu dengan Ketua Umum pertama Prof. Dr. Justika S. Baharsjah. Saat ini, Perhimpi beranggotakan 392 orang. Sebagai perhimpunan profesi ilmiah yang menjadi wadah bagi para akademisi, peneliti dan praktisi dalam bidang iklim dan pertanian di Indonesia, Perhimpi mendukung program pembangunan pertanian yang sangat terkait dengan iklim sebagai salah satu sumberdaya dan faktor penentu.
Sejak berdirinya, Perhimpi telah berperan serta berkontribusi dalam berbagai hal untuk mendukung program dan kebijakan pembangunan nasional dalam konteks iklim dan cuaca. “Perhimpi berperan secara aktif melalui anggota-anggotanya yang tersebar pada berbagai instansi dan lembaga pemerintah dan swasta yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia,” tuturnya.
Simposium yang berlangsung pada 2-3 Oktober ini digelar oleh Perhimpi bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Selain Simposium, diselenggarakan kegiatan pendukung/Side Events berupa Talkshow, Bimbingan Teknis dan Pameran.
Menyertai Simposium, digelar juga Kongres VIII Perhimpi yang bertujuan membangun forum untuk dialog dan berbagi informasi antar anggota Perhimpi, himpunan profesi lainnya, dan stakeholder utama. Kongres yang dihadiri 22 pengurus juga digelar untuk mengevaluasi kegiatan yang dilakukan pengurus Perhimpi selama periode sebelumnya, serta melakukan pemilihan pengurus baru dan menyusun program kerja Perhimpi periode 2020-2024