Jakarta, Technology-Indonesia.com – Kualitas air bersih sangat penting bagi kehidupan manusia. Bahkan ketersediaan air bersih bisa memengaruhi kesejahteraan manusia, mata pencaharian dan lingkungan yang sehat.
Kebutuhan melindungi kualitas sumber daya air menjadi salah satu fokus masyarakat dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan ketersediaan air bersih masuk dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Artinya, saat ini kebutuhan air bersih dari sumber yang berkualitas sangat mendesak.
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekaligus Executive Director the Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE), Ignasius Dwi Atmana Sutapa menjelaskan, polutan secara umum terdiri dari kandungan sintesis atau kimia natural atau organisme yang biasanya tidak termonitor atau terdeteksi di lingkungan yang dapat berdampak pada ekosistem dan kesehatan manusia.
Ia memaparkan, polutan yang ada di air dapat terdiri dari berbagai macam bahan kimia, logam, surfaktan, aditif industri, dan pelarut. Polutan ini dapat berasal dari limbah farmasi, rumah tangga, dan industri yang secara terus menerus dilepaskan ke lingkungan.
“Bahkan polusi dalam jumlah sangat rendah sekalipun dapat menyebabkan toksisitas kronis, gangguan endoktrin satwa liar dan perkembangan resistensi bakteri patogen,” ungkap Ignasius dalam UNESCO Asia And The Pacific Regional Training Workshop On Water Quality And Emerging Pollutants pada Selasa (27/11/2018) di Jakarta
Workshop ini digelar oleh LIPI bekerjasama dengan UNESCO’s International Initiative on Water Quality (IIWQ), the Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE, under the Auspice of Unesco), and the UNESCO Office Jakarta. “Kegiatan ini merupakan upaya dunia dalam memahami dan bagaimana mengatasi masalah yang terkait dengan pencemar, terutama bahan-bahan pencemar yang sudah menyebar,” lanjutnya.
Ignasius menambahkan, di Asia, konsentrasi antibiotik seperti Oxytetracycline, Trimethoprim dan Sulfamethoxazole tinggi baik dalam air limbah dan air permukaan. Di Indonesia sendiri ada 107 polutan yang muncul senyawa di perairan Cagar Alam Sagara Anakan. Polutan yang paling dominan adalah asam dimecrotic, hyme chromone, valeryl salisilat, dan asam phthalic mono-2-ethylhexyl ester.
Menurut Ignasius, data dan evaluasi terkait polutan air di Asia dan Pasifik dianggap masih tidak mencukupi padahal pemantauan, evaluasi dan pelaporan terkait sumber polutan yang muncul sangat penting. Untuk itu, workshop ini mencoba menjawab kebutuhan tersebut.
“Karena masalah ini transboundary, tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Workshop ini merupakan upaya untuk melakukan koordinasi dan sharing informasi kerjasama baik antar institusi dalam negeri maupun luar negeri,” tuturnya.
Kegiatan ini dihadiri oleh 11 negara di Asia Pasifik yakni Kamboja, Indonesia, Iran, Kazakhstan, Malaysia, Singapura, Tajikistan, Thailand, filipina, Timor-Leste, and Vietnam. Pembicara dari berbagai negara tersebut akan menyampaikan berbagai isu-isu terkait emerging pollutants and water quality di wilayah Asia Pasifik.
“Kita akan membuat semacam platform bersama di wilayah Asia Pasifik untuk dijadikan rujukan dari sisi identifikasi, kemudian menyelesaikan permasalahannya, pengolahan, dan teknologi apa sesuai untuk mengatasi masalah emerging pollutants,” tuturnya.
Dalam kesempatan tersebut, Deputi Gubernur bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta Oswar Mungkasa mengatakan pertemuan ini akan membantu Jakarta untuk saling berbagi pengetahuan dan berbagai solusi untuk menangani masalah pencemaran air di Jakarta.
“Kita berharap banyak melalui pertemuan ini akan mendapatkan banyak masukan dan solusi-solusi baru. Kita juga bisa menjadi bagian dari networking atau jejaring dari ahli-ahli yang akan sangat bermanfaat bagi Jakarta,” tutupnya.