Jakarta, Technology-Indonesia.com – Tahapan terberat dalam pengembangan inovasi di Indonesia adalah dari prototype atau purwarupa ke industrialisasi. Padahal, riset dan inovasi merupakan faktor utama yang menggerakkan perekonomian negara-negara maju. Karena itu, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) berupaya menjembatani hasil-hasil riset berupa prototype menuju industrialisasi hingga komersialisasi.
Salah satunya melalui penyelenggaraan Business Innovation Gathering (BIG) 2019 untuk mensinergikan akademisi, pebisnis, pemerintah, dan masyarakat. BIG 2019 juga bertujuan untuk meningkatkan kapasitas inovasi industri nasional, serta hilirisasi dan publikasi produk-produk inovasi.
“Salah satu ide dari acara Business Innovation Gathering adalah mengundang dunia usaha agar ikut aktif dalam kegiatan research and development (R&D) dan juga inovasi,” kata Menristek/Kepala BRIN, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro saat menjadi pembicara utama dalam BIG 2019 di LIPI Grand Ballroom, Jakarta pada Kamis (19/12/2019).
Menurut Menristek, saat ini anggaran R&D di Indonesia masih relatif rendah yaitu 0,35 persen dari PDB (produk domestik bruto) dengan mayoritas atau sekitar 80 persen dari anggaran pemerintah. Sementara dari sektor swasta baru 10 persen.
“Artinya anggaran pemerintah atau kegiatan riset pemerintah mendominasi kegiatan riset yang ada di Indonesia. Itu yang mungkin menyebabkan kenapa inovasi belum berkembang secara besar di Indonesia dibandingkan negara tetangga. Thailand, memiliki sumber dana riset yang lebih besar secara nominal dari Indonesia, 70 persennya berasal dari swasta,” tutur Menristek Bambang.
Negara maju seperti Jepang dan Korea juga memiliki anggaran riset dari swasta di atas 70 persen. “Jepang dan Korea karena tidak punya sumber daya alam (SDA), mereka memiliki sumber daya manusia (SDM) yang terlatih. Yang paling penting, karena sektor swastanya sadar benar pentingnya R&D untuk competitiveness mereka sendiri dan sustainability dari dunia usaha,” lanjutnya.
Karena itu untuk mendorong inovasi di Indonesia, dalam acara BIG 2019, Menristek/Kepala BRIN berpartisipasi langsung dalam Forum Dialog Terbatas dengan para pelaku R&D industri besar dan CEO start up. Melalui dialog ini diharapkan ada titik temu antara kebijakan R&D kelitbangan dan inovasi yang dikeluarkan pemerintah dengan industri, sehingga ada percepatan hilirisasi produk inovasi.
“Kita akan mendorong sinergi triple helix antara dunia usaha dan dari sisi penelitian baik dari LPNK maupun perguruan tinggi. Kami sebagai pemerintah akan berupaya memfasilitasi interaksi dan kolaborasi yang lebih erat antara dunia usaha dan dunia penelitian,” tuturnya.
Harapannya, penelitian yang dilakukan perguruan tinggi atau lembaga litbang mengarah pada inovasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, diterima oleh market dan memiliki nilai komersial. Untuk mengarah ke inovasi seperti itu, menurut Menristek, mau tidak mau harus ada kerja sama atau komunikasi yang intens dengan dunia usaha.
Pada kesempatan tersebut, Bambang berharap dunia usaha di Indonesia tidak hanya berada di hilir tapi masuk lebih ke tengah. Beberapa fokus yang bisa dikembangkan untuk inovasi di antaranya inovasi yang sifatnya tepat guna dan dibutuhkan masyarakat secara langsung untuk memperbaiki kehidupan mereka. Serta, inovasi yang terkait dengan penciptaan nilai tambah atau hilirisasi. Sumber daya alam (SDA) Indonesia yang melimpah seperti pertanian dan pertambangan juga bisa menjadi objek R&D agar ada nilai tambah atau hilirisasi.
“Marilah kita gunakan sumber daya alam kita, sebagai dasar untuk inovasi. Penciptaan nilai tambah dan subtitusi impor harus menjadi yang terdepan di dalam inovasi sehingga kita bisa membantu permasalahan ekonomi, di sisi lain juga bisa memperkuat nilai tambah dari sumber daya alam kita,” kata Bambang.
Di ajang BIG 2019 juga digelar Pameran Start Up/PPBT (Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi) dan produk unggulan inovasi bidang pangan, kesehatan dan obat, serta TIK. Pameran ini dibagi dalam empat island booth yaitu: start up dengan 34 produk (pangan, kesehatan dan obat, serta TIK); inovasi bidang pangan berjumlah 14 produk; bidang kesehatan dan obat 31 produk; serta bidang TIK terdiri dari 29 produk.
Dari pameran ini diharapkan akan terjadi proses business matching antara inovator selaku produsen inovasi, dengan para venture capital, sehingga akan terjadi deal dalam rangka menghilirkan produk inovasi nasional
Menristekdikti/Kepala BRIN berharap start up-start up tersebut bisa mengembangkan bisnisnya secara lebih terstruktur, kompetitif dan selalu berbasis iptek. “Saya lihat di lembaga litbang dan perguruan tinggi semangatnya dua yaitu ingin menggantikan yang impor itu luar biasa dan kedua ingin menggantikan bahan kimia menjadi bahan lebih natural, bahan yang basisnya nabati,” lanjutnya
Bambang berharap kegiatan BIG bisa berlangsung regular sebab start up tidak hanya membutuhkan pendampingan yang sudah didapatkan melalui inkubator. Yang diperlukan start up adalah bagaimana membuat bisnis menjadi besar besar, membuat produk bisa masuk industrialisasi masuk komersialisasi.
“Kalau sekarang kebanyakan masih prototype, masih kesulitan mengurus izin, mari kita bantu supaya izinnya keluar dan yang paling penting bisa komersial. Karena itu kemitraan atau kolaborasi antara mereka dengan pengusaha yang sudah lebih mampan itu menjadi kunci. Kita juga ingin mendorong lebih banyak generasi muda menjadi inventor atau penemu yang bisa membawa invensinya menjadi bisnis besar,” tutup Bambang.