BPPT Tawarkan ADSB Made in Indonesa

alt
ADSB

Untuk membantu peningkatan pelayanan bandara dan standar keselamatan penerbangan, BPPT menawarkan ADSB made in Indonesia. ”Teknologinya telah siap. Bisa dibuat sendiri di dalam negeri secara lebih murah dan efisien,” kata Kepala BPPT Dr Ir Unggul Priyanto MSc kepada Mapiptek di Jakarta.

Dalam silaturahmi dengan Masyarakat Penulis Iptek (Mapiptek) di Jakarta awal pekan lalu, Kepala BPPT menjelaskan bahwa melalui Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT pihaknya telah mengembangkan perangkat lunak pemantauan pesawat berbasis Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B) sebagai alat bantu dalam pantauan penerbangan sipil secara real time menggunakan teknologi survaillance ADS-B.

ADS-B ini  merupakan sistem navigasi dalam dunia penerbangan yang dengan frekuensinya dapat di deteksi oleh radar dengan berbagai data yang dapat ditampilkan dalam bentuk text, visual 2D dan 3D. Data yang ditampilkan lebih rinci dan lengkap, termasuk informasi pesaawatnya. ADS-B yang dikembangkan BPPT mampu menangkap signal dari transponder yang dimiliki setiap pesawat sipil dalam radius 200 mil, sehingga setiap pergerakan pesawat akan terdeteksi.

Informasi-informasi yang dapat ditampilkan dan disajikan oleh sistem ADS-B antara lain jadwal keberangkatan pesawat terbang, nomor penerbangan, rute penerbangan, posisi pesawat lengkap dengan koordinatnya, ketinggian pesawat dan arah pesawat serta kecepatannya, tipe pesawat dan nomor tanda registrasi pesawat, tujuan penerbangan, marka udara (airway) jalur pesawat udara di angkasa, pergerakan pesawat udara dalam tampilan 3D yang pergerakanya seperti tampilan kamera cctv.

Selain itu, teknologi ini juga dapat mengetahui posisi dan pergerakan pesawat real time, informasi pergerakan mulai hendak terbang, pesawat saat menanjak (climbing), lurus (level) menurun (descent), hingga mendarat dengan tampilan grafik berwarna.Dapat juga melihat semua pesawat yang melintas di udara secara langsung, dan dapat melihat pesawat asing yang hanya melintas di wilayah udara Indonesia.

Keandalan ADSB telah diujicoba di dua bandara. Yaitu Bandara Ahmad Yani di Semarang sejak dua tahun lalu dan Bandara Husen Sastranegara di Bandung, Jabar, sejak enam bulan lalu.. Hasilnya dinilai positif dan bagus. BPPT, menurutnya, dalam waktu dekat akan kembali melakukan uji coba teknologi ini di Sabang, Aceh. Kementerian Perhubungan pun mempertimbangkan memanfaatkan teknologi ini di bandara-bandara perintis di seluruh wilayah Indonesia.

Biaya yang dibutuhkan untuk satu set ADSB tidak terlalu mahal. Sekitar Rp 1 milyar per unit atau hanya sepersepuluh dari biaya yang diperliukan jika menggunakan radar, yang membutuhkan anggaran Rp 10 miliar per unit. Jika dapat diproduksi massal, tentu akan lebih murah lagi.

Menurut Direktur Pusat TIK BPPT, Hary Budiarto Hadi,  untuk “mengcover” seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibutuhkan maksimal 100 unit ADS-B receiver. Alat ini dapat ditempatkan di “offshore rig” dan buoy untuk dapat menangkap signal transponder pesawat yang melalui perairan.

BPPT, menurut Hadi, telah mengkaji ADSB sejak 2010.  “Kita kembangkan mulai dari reciever-nya, kemudian kita juga buat software-nya, termasuk membuat sistem informasinya. Jadi, kini satu paket lengkap sudah siap kita tawarkan.” Semua bahan pembuatan ADS-B berasal dari dalam negeri, kecuali komponen elektroniknya yang masih impor, tambahnya.

Hadi menjelaskan, teknologi ADSB tidak terlalu rumit sebenarnya. ”Kita (melalui Air Traffic Controller/ATC mini berbasis sistem ADS-B di Gedung Teknologi 3 BPPT di Serpong) bisa memonitor dari Lampung sampai Cirebon pesawat yang terbang rendah, termasuk yang landing dan takeoff, termasuk juga data pesawat tersebut,” ujarnya.

You May Also Like

More From Author